Sabtu, 26 November 2011

“MANGROVE”


oleh : MUNAWIR LUBIS dan MARTIN MUBARAQ
MAHASISWA PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU






I.                   PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Kita terhenyak begitu banyak bencana melanda negeri ini, dari Sabang sampai ke Merauke telah kebagian bencana. Kita bertanya-tanya, mengapa begitu banyak bencana dari longsor, banjir  hingga tsunami. Mari sejenak kita merenung. Adakah kita sebagai manusia yang dipercaya sebagai khalifah dimuka bumi telah menunaikan amanah itu?  Sudah bukan rahasia lagi, negeri kita yang dulunya terkenal dengan hutannya, sekarang dimana-mana  telah banyak hutan yang rusak. Sebagai contoh saja kita simak hutan di Propinsi Bengkulu. Dari luasan hutan sebesar 920.964 ha, 394.414,1 ha telah mengalami kerusakan. Selain itu, dari 340.575 ha kawasan TNKS wilayah administrasi Propinsi Bengkulu 123.534,58 ha atau sekitar 36,27% telah rusak parah (kondisi non-hutan). Penyebab utama kerusakan hutan diduga dikarenakan illegal logging, perambahan, penambangan, konversi hutan dll baik oleh pengusaha, masyarakat  maupun oknum tak dikenal.
            Salah satu hutan yang telah rusak adalah hutan mangrove. Hutan mangrove di sepanjang pantai barat dan timur pulau Sumatera telah rusak lebih dari 50%. Propinsi Bengkulu memiliki laut sepanjang 525 km. Sebanyak 50% hutan mangrove yang terdapat di 525 km pantai Bengkulu telah mengalami kerusakan dan perlu segera direboisasi. Reboisasi hutan mangrove sangat penting, karena akan menjaga abrasi pantai, mengembalikan habitat biota laut serta meminimalisasi terjadinya bencana akibat gelombang tsunami.
1.2  Rumusan masalah
1.      Hal – hal apa yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove?
2.      Apa dampak dari rusaknya hutan mangrove?
3.      Solusi apa yang harus dilakukan dalam memperbaiki kerusakan hutan mangrove?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerusakan hutan mangrove
2.      Untuk mengetahui dampak dari kerusakan hutan mangrove tersebut
3.      Untuk mengetahui solusi yang dapat dilakukan dalam memperbaiki masalah kerusakan hutan mangrove

II.               MANGROVE
2.1  Apa Itu Hutan Mangrove ?
Hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu tergenang air.  Menurut Steenis (1978) mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Nybakken (1988) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Soerianegara (1990) bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll.  
Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai yaitu hutan yang tumbuh disepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat terdapat  disepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau.
2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
            Fungsi ekosistem mangrove  mencakup fungsi  fisik (menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut, mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis (tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi ekonomi (sumber bahan baker, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dll. (Naamin, 1990), makanan, obat-obatan & minuman, gula alcohol, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan ternak, pupuk, produksi kertas & tannin dll. Menurut Wada (1999) bahwa 80% dari  ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi  kawasan tempat breeding & nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat satwa liar, penahan angina laut, penahan sediment yang terangkut dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.
Kusmana (1996) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah organic; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturisme.
Gosalam et al. (2000) telah mengisolasi bakteri dari ekosistem hutan mangrove yang mampu mendegradasi residu minyak bumi yaitu Alcaligenes faecalis, Pseudomonas pycianea, Corynebacterium pseudodiphtheriticum, Rothia sp., Bacillus coagulans, Bacillus brevis dan Flavobacterium sp.
Hutan mangrove secara mencolok mengurangi dampak negative tsunami di pesisir pantai berbagai Negara di Asia (Anonim, 2005a). Ishyanto et al. (2003) menyatakan bahwa Rhizophora memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun Rhizophora (bakau). Venkataramani (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.
2.3 Hutan Mangrove di Indonesia
            Luasan hutan mangrove di dunia  15,9 juta ha dan 27%-nya atau seluas 4,25 juta ha terdapat di Indonesia (Arobaya dan Wanma, 2006). SeLuasan ini penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan penyebaran terluas  di Papua.  Menurut Anonim (1996) bahwa luas hutan mangrove di Indonesia sebesar 3,54 juta ha atau sekitar 18-24% hutan mangrove dunia, merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Negara lain yang memilki hutan mangrove yang cukup luas adalah Nigeria seluas 3,25 juta ha, 
Tabel 1. Luas hutan mangrove di Indonesia (Supriharyono, 2000)
No.
Wilayah
Luas (ha)
1.
Aceh
50.000
2
Sumatera Utara
60.000
3
Riau
95.000
4
Sumatera Selatan
195.000
5
Sulawesi Selatan
24.000
6
Sulawesi Tenggara
29.000
7
Kalimantan Timur
150.000
8
Kalimantan Selatan
15.000
9
Kalimantan Tengah
10.000
10
Kalimanta Barat
40.000
11
Jawa Barat
20.400
12
Jawa Tengah
14.041
13
Jawa Timur
6.000
14
Nusa Tenggara
3.678
15
Maluku
100.000
16
Irian Jaya
2.934.000

Total
3.806.119
Tabel 2. Luas hutan mangrove di Indonesia  (FAO, 2002).
Wilayah
Luas (ha)
Persen
Bali
1.950
0,1
Irian Jaya
1.326.990
38
Jawa
33.800
1
Jawa Tengah
18.700
0,5
Jawa Barat
8.200
0,2
Jawa Timur
6.900
0,2
Kalimantan
1.139.460
32,6
Kalimantan Barat
194.300
5,6
Kalimantan Tengah
48.740
1,4
Kalimantan Timur
775.640
22,2
Kalimantan Selatan
120.780
3,5
Maluku
148.710
4,3
Nusa Tenggara
15.400
0,4
Sulawesi
256.800
7,4
Sumatera
570.000
16,3
Indonesia
3.493.110
100

Meksiko 1,42 juta ha dan Australia 1,6 juta ha. Luas hutan di dunia sekitar 17,5 juta ha. Menurut Sarwono-Kusumaatmadja (1996) bahwa Indonesia pada tahun 1996 hanya memiliki 2,5 juta hutan mangrove, sebelum Perang Dunia II seluas 3 juta dan sekitar 11 juta ha hutan mangrove yang telah hilang. Hal ini sejalan dengan Dahuri (2001) bahwa hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 seluas 5.209.543 ha, menurun menjadi 3.235.700 ha pada tahun 1987 dan menurun lagi menjadi 2.496.185 ha pada tahun 1993. Lebih dari 50% hutan mangrove yang tersisa telah rusak. Bahkan terdapat data bahwa hutan mangrove yang telah di-deforestasi rusak berat 42%, 29% rusak, < 23% yang baik dan hanya 6% yang kondisinya sangat baik. Tabel 1 dan Tabel 2 menampilkan luas hutan mangrove di Indonesia untuk setiap wilayah.
            Kompas (2000) menyatakan bahwa luas hutan mangrove  di Sumatera Barat 36.550 ha, tersebar di kabupaten  Pasaman (3.250 ha) dengan tingkat kerusakan 30%, Kabupaten Pesisir Selatan 325,7 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Kepulauan Mentawai 32.600 ha dengan tingkat kerusakan 20%, Kabupaten Agam 55 ha dengan tingkat kerusakan 50%, Kota Padang 120 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Padang Pariaman 200 ha dengan tingkat kerusakan 80%.  Tingkat kerusakan hutan mangrove di Sumatera Barat adalah 53,34%. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan ikan menjadi hanya 8.320 ton/tahun. Data lain menyebutkan bahwa luas jutan mangrove di Sumatera Barat adalah 39.832 ha
            Pantai Timur Lampung yang semula hutan mangrovenya 20.000 ha telah menurun menjadi hanya 2.000 ha. Pantai Timur Tulangbawang (Lampung) dari 12.000 ha telah 85% nya rusak berat. Menurut data tahun 1980, luas hutan mangrove Propinsi Lampung adalah 17.000 ha.
            Kompas (2006) menyatakan bahwa dari  36.000 ha hutan mangrove di Aceh  hampir 75% nya telah punah karena ditebang. Menurut data PT Inhutani, setiap tahun sekitar 500 ha hutan mangrove dibuka dan sekitar 216.000 m3 kayu mangrove dijadikan  arang.
2.4 Hutan Mangrove di Bengkulu
            Lima puluh persen hutan mangrove yang terdapat di sepanjang 525 km pantai Barat telah mengalami kerusakan. Diperkirakan luas hutan mangrove di sepanjang pantai Barat sekitar 5.250 ha. Hutan mangrove yang relative masih utuh adalah di pulau Enggano.  Hutan mangrove di Enggano sebagian besar tersebar di bagian pantai sebelah timur Pulau Enggano, termasuk ke dalam kawasan hutan koservasi, seperti Cagar Alam Teluk Klowe, Cagar Alam Sungai Bahewa dan Taman Buru Gunung Nanua; luasnya 1.536,8 ha. Sebagian hutan mangrove juga terletak di sebelah barat Pulau Enggano, yaitu di Cagar Alam Tanjung Laksaha dan secara spot-spot terletak di sebelah selatan kawasan Cagar Alam Kioy (Senoaji dan Suminar, 2006). Hutan mangrove di Enggano mempunyai ketebalan antara 50-1500 m. Komposisi jenis penyusun hutan mangrove di Enggano  terdiri dari 16 jenis yaitu Rhizophora apicullata, R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Xyloacarpus granatum, Sonneratia alba, Ceriops tagal, Oncosperma filamentosa, Palmae sp., Terminalia catapa, Calamus ornitus, Hibiscus tiliacerus, Ficus sp., Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Scaevola taccada dan Pongamia pinnata. Tiga jenis pertama merupakan jenis-jenis yang dominant dan banyak menyebar di setiap kawasan Cagar Alam Suaka Alam Tanjung Laksaha. Lebar hutan mangrove di daerah ini bervariasi mulai dari 50-1000 m. Potensi hutan mangrove di cagar alam ini cukup tinggi yaitu 320 m3/ha dengan jumlah pohon 350 pohon/ha. Pohon-pohon yang berdiameter di atas 50 cm mencapai 30%, dengan rata-rata diameter pohon 36 cm dan tinggi 9 m.
2.5 Faktor Penyebab Rusaknya Hutan mangrove
1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
2.  Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
2.6 Akibat Rusaknya Hutan Mangrove
1. Instrusi air laut
            Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kea rah daratan sampai mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan  dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.
2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll.
3. Penurunan keanekaragamanhayati di wilayah pesisir
4. Peningkatan abrasi pantai
5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya produksi tangkapan ikan menurun.
6. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut dlll.
7. Peningkatan pencemaran pantai.
2.7 Pemecahan Masalah Rusaknya Mangrove
            Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah R I telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan  pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kea rah daratan.
            Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain:
1. Penanaman kembali mangrove
            Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan  hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat  antara lain terbukanya peluang kerja  sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
6. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove
8. Penegakan hokum
9. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan  yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain  itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal  (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini. 
III. KESIMPULAN
1.      Adapun faktor penyebab rusaknya Hutan Mangrove
·         Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
·         Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
2.      Pemecahan masalah rusaknya Mangrove adalah sebagai berikut :
·         Penanaman kembali mangrove
·         Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir
·         Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab
·         Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
·         Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
·         Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
·         Program komunikasi konservasi hutan mangrove
·         Penegakan hokum
·         Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.

 DAFTAR PUSTAKA
Arobaya, A dan A. Wanma. 2006. Menelusuri sisa areal hutan mangrove di Manokwari. Warta Konservasi Lahan Basah,14 (4): 4-5.
Gosalam, S., N. Juli dan Taufikurahman. 2000. Isolasi bakteri dari ekosistem mangrove yang mampu mendegradasi residu minyak bumi. D113-122. Prosiding Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Makasar.
Harianto, S. P. 1999. Konservasi mangrove dan potensi pencemaran Teluk Lampung. Jurnal Manajemen & Kualitas Lingkungan, 1 (1): 9-15.
Kompas. 2000. Separuh hutan bakau Sumatera Barat Rusak. Kompas 28 Februari 2000.
Munisa, A. A. H. Oli, A. K. Palaloong, Erniwati, Golar, G. D. Dirawan, M. S. Hamidua dan R. G. P. Panjaitan. 2003. Partisipasi masyarakat mangrove di Sulawesi Selatan. http://tumoutou,net/702_07134/71034_13.htm.
Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan masyarakat Pesisir Utara Nias dari tsunami. Warta Konservasi Lahan Basah,13 (2): 5-7.
Onrizal. 2006. Hutan mangrove. Bagaimana memanfaatkannya secara lestari? Warta Konservasi Lahan Basah, 14 (4): 6-8.
Santoso, U. 2007. Permasalahan dan  solusi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Bengkulu. Pertemuan PSL PT se-Sumatera tanggal 20 Februari 2006 di Pekanbaru.
Senoaji, G. dan R. Suminar. 2006. Daya dukung lingkungan pulau Enggano Propinsi Bengkulu. Bapedalda dan PSL Universitas Bengkulu. Bengkulu.
 

0 komentar:

Posting Komentar