This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 26 November 2011

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN, LINGKUNGAN HIDUP DAN OTONOMI DAERAH

OLEH : LIPUL DAN  RANO ANDREAS SIHOMBING


1.      PENDAHULUAN
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam yang lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, yaitu keterbatasan tentang ketersediaan menurut kuantitas dan kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara lingkungan dan manusia saling mempunyai kaitan yang erat. Ada kalanya manusia sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, sehingga aktivitasnya banyak ditentukan oleh keadaan lingkungan di sekitarnya. Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Kita tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya ada pula aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia.Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri.

Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah.
2.      PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN, LINGKUNGAN HIDUP DAN OTONOMI DAERAH
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan,informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
  • Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
  • Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
  • Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
  • Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
  1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
  1. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
  1. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
  1. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
  1. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional ang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan. Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :
  • Regulasi Perda tentang Lingkungan.
  • Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
  • Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
  • Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
  • Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
  • Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
  • Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
  • Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan. Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982.
POTRET LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH
Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut.
  • Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain Tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain
  • Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
  • Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.
  • Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
  • Lemahnya implementasi paraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.
  • Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum.
  • Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.
  • Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.

3.      PENUTUP
Begitu banyaknya masalah yang terkait dengnan lingkungan hidup yang berkaitan dengan pembangunan. Masalah tersebut dapat timbul akibat proses pembangunan yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup. Di era otonomi ini tampak bahwa ada kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, yang seharusnya tidak demikian halnya. Ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup tekait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan PAD dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.

Dengan cara seperti ini maka terjadi kemerosotan kualitas lingkungan di mana-mana, yang diikuti dengan timbulnya bencana alam. Terdapat banyak hal yang menyebabkan aspek lingkungan hidup menjadi kurang diperhatikan dalam proses pembangunan, yang bervariasi dari daerah satu dengan daerah yang lain, dari hal-hal yang bersifat lokal seperti ketersediaan SDM sampai kepada hal-hal yang berskala lebih luas seperti penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai, namun demikian didalam pelaksanaanya, termasuk dalam pengawasan, pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini sangat terkait dengan niat baik pemerintah termasuk pemerintah daerah, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengelola lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya agar prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena pembangunan pada dasarnya untuk kesejahteraan masyarakat, maka aspirasi dari masyarakat perlu didengar dan program-program kegiatan pembangunan betul-betul yang menyentuh kepentingan masyarakat.

DAFTAR BACAAN
  1. Baiquni, M dan Susilawardani, 2002. Pembangunan yang tidak Berkelanjutan, Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. Transmedia Global Wacana, Yogyakarta.
  2. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
  3. Marfai, M.A. 2005. Moralitas Lingkungan, Wahana Hijau, Yogyakarta
    Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2002. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemda Propinsi DI Yogyakarta.
  4. Slaymaker, O and Spencer, T., 1998. Physical Geography and Global Environmental Change.Addison Wesley Longman Limited, Edinburh Gate, Harlow.
  5. Miller. G.T. Jr. 1995. Environmental Science Sustaining the Earth. Wadsworth Publishing Co.Belmont.
  6. Sumarwoto, O (ed). 2003. Menuju Jogya Propinsi Ramah Lingkungan Hidup, Agenda 21 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

“MANGROVE”


oleh : MUNAWIR LUBIS dan MARTIN MUBARAQ
MAHASISWA PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU






I.                   PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Kita terhenyak begitu banyak bencana melanda negeri ini, dari Sabang sampai ke Merauke telah kebagian bencana. Kita bertanya-tanya, mengapa begitu banyak bencana dari longsor, banjir  hingga tsunami. Mari sejenak kita merenung. Adakah kita sebagai manusia yang dipercaya sebagai khalifah dimuka bumi telah menunaikan amanah itu?  Sudah bukan rahasia lagi, negeri kita yang dulunya terkenal dengan hutannya, sekarang dimana-mana  telah banyak hutan yang rusak. Sebagai contoh saja kita simak hutan di Propinsi Bengkulu. Dari luasan hutan sebesar 920.964 ha, 394.414,1 ha telah mengalami kerusakan. Selain itu, dari 340.575 ha kawasan TNKS wilayah administrasi Propinsi Bengkulu 123.534,58 ha atau sekitar 36,27% telah rusak parah (kondisi non-hutan). Penyebab utama kerusakan hutan diduga dikarenakan illegal logging, perambahan, penambangan, konversi hutan dll baik oleh pengusaha, masyarakat  maupun oknum tak dikenal.
            Salah satu hutan yang telah rusak adalah hutan mangrove. Hutan mangrove di sepanjang pantai barat dan timur pulau Sumatera telah rusak lebih dari 50%. Propinsi Bengkulu memiliki laut sepanjang 525 km. Sebanyak 50% hutan mangrove yang terdapat di 525 km pantai Bengkulu telah mengalami kerusakan dan perlu segera direboisasi. Reboisasi hutan mangrove sangat penting, karena akan menjaga abrasi pantai, mengembalikan habitat biota laut serta meminimalisasi terjadinya bencana akibat gelombang tsunami.
1.2  Rumusan masalah
1.      Hal – hal apa yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove?
2.      Apa dampak dari rusaknya hutan mangrove?
3.      Solusi apa yang harus dilakukan dalam memperbaiki kerusakan hutan mangrove?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerusakan hutan mangrove
2.      Untuk mengetahui dampak dari kerusakan hutan mangrove tersebut
3.      Untuk mengetahui solusi yang dapat dilakukan dalam memperbaiki masalah kerusakan hutan mangrove

II.               MANGROVE
2.1  Apa Itu Hutan Mangrove ?
Hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu tergenang air.  Menurut Steenis (1978) mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Nybakken (1988) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Soerianegara (1990) bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll.  
Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai yaitu hutan yang tumbuh disepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat terdapat  disepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau.
2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
            Fungsi ekosistem mangrove  mencakup fungsi  fisik (menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut, mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis (tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi ekonomi (sumber bahan baker, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dll. (Naamin, 1990), makanan, obat-obatan & minuman, gula alcohol, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan ternak, pupuk, produksi kertas & tannin dll. Menurut Wada (1999) bahwa 80% dari  ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi  kawasan tempat breeding & nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat satwa liar, penahan angina laut, penahan sediment yang terangkut dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.
Kusmana (1996) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah organic; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturisme.
Gosalam et al. (2000) telah mengisolasi bakteri dari ekosistem hutan mangrove yang mampu mendegradasi residu minyak bumi yaitu Alcaligenes faecalis, Pseudomonas pycianea, Corynebacterium pseudodiphtheriticum, Rothia sp., Bacillus coagulans, Bacillus brevis dan Flavobacterium sp.
Hutan mangrove secara mencolok mengurangi dampak negative tsunami di pesisir pantai berbagai Negara di Asia (Anonim, 2005a). Ishyanto et al. (2003) menyatakan bahwa Rhizophora memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun Rhizophora (bakau). Venkataramani (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.
2.3 Hutan Mangrove di Indonesia
            Luasan hutan mangrove di dunia  15,9 juta ha dan 27%-nya atau seluas 4,25 juta ha terdapat di Indonesia (Arobaya dan Wanma, 2006). SeLuasan ini penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan penyebaran terluas  di Papua.  Menurut Anonim (1996) bahwa luas hutan mangrove di Indonesia sebesar 3,54 juta ha atau sekitar 18-24% hutan mangrove dunia, merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Negara lain yang memilki hutan mangrove yang cukup luas adalah Nigeria seluas 3,25 juta ha, 
Tabel 1. Luas hutan mangrove di Indonesia (Supriharyono, 2000)
No.
Wilayah
Luas (ha)
1.
Aceh
50.000
2
Sumatera Utara
60.000
3
Riau
95.000
4
Sumatera Selatan
195.000
5
Sulawesi Selatan
24.000
6
Sulawesi Tenggara
29.000
7
Kalimantan Timur
150.000
8
Kalimantan Selatan
15.000
9
Kalimantan Tengah
10.000
10
Kalimanta Barat
40.000
11
Jawa Barat
20.400
12
Jawa Tengah
14.041
13
Jawa Timur
6.000
14
Nusa Tenggara
3.678
15
Maluku
100.000
16
Irian Jaya
2.934.000

Total
3.806.119
Tabel 2. Luas hutan mangrove di Indonesia  (FAO, 2002).
Wilayah
Luas (ha)
Persen
Bali
1.950
0,1
Irian Jaya
1.326.990
38
Jawa
33.800
1
Jawa Tengah
18.700
0,5
Jawa Barat
8.200
0,2
Jawa Timur
6.900
0,2
Kalimantan
1.139.460
32,6
Kalimantan Barat
194.300
5,6
Kalimantan Tengah
48.740
1,4
Kalimantan Timur
775.640
22,2
Kalimantan Selatan
120.780
3,5
Maluku
148.710
4,3
Nusa Tenggara
15.400
0,4
Sulawesi
256.800
7,4
Sumatera
570.000
16,3
Indonesia
3.493.110
100

Meksiko 1,42 juta ha dan Australia 1,6 juta ha. Luas hutan di dunia sekitar 17,5 juta ha. Menurut Sarwono-Kusumaatmadja (1996) bahwa Indonesia pada tahun 1996 hanya memiliki 2,5 juta hutan mangrove, sebelum Perang Dunia II seluas 3 juta dan sekitar 11 juta ha hutan mangrove yang telah hilang. Hal ini sejalan dengan Dahuri (2001) bahwa hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 seluas 5.209.543 ha, menurun menjadi 3.235.700 ha pada tahun 1987 dan menurun lagi menjadi 2.496.185 ha pada tahun 1993. Lebih dari 50% hutan mangrove yang tersisa telah rusak. Bahkan terdapat data bahwa hutan mangrove yang telah di-deforestasi rusak berat 42%, 29% rusak, < 23% yang baik dan hanya 6% yang kondisinya sangat baik. Tabel 1 dan Tabel 2 menampilkan luas hutan mangrove di Indonesia untuk setiap wilayah.
            Kompas (2000) menyatakan bahwa luas hutan mangrove  di Sumatera Barat 36.550 ha, tersebar di kabupaten  Pasaman (3.250 ha) dengan tingkat kerusakan 30%, Kabupaten Pesisir Selatan 325,7 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Kepulauan Mentawai 32.600 ha dengan tingkat kerusakan 20%, Kabupaten Agam 55 ha dengan tingkat kerusakan 50%, Kota Padang 120 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Padang Pariaman 200 ha dengan tingkat kerusakan 80%.  Tingkat kerusakan hutan mangrove di Sumatera Barat adalah 53,34%. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan ikan menjadi hanya 8.320 ton/tahun. Data lain menyebutkan bahwa luas jutan mangrove di Sumatera Barat adalah 39.832 ha
            Pantai Timur Lampung yang semula hutan mangrovenya 20.000 ha telah menurun menjadi hanya 2.000 ha. Pantai Timur Tulangbawang (Lampung) dari 12.000 ha telah 85% nya rusak berat. Menurut data tahun 1980, luas hutan mangrove Propinsi Lampung adalah 17.000 ha.
            Kompas (2006) menyatakan bahwa dari  36.000 ha hutan mangrove di Aceh  hampir 75% nya telah punah karena ditebang. Menurut data PT Inhutani, setiap tahun sekitar 500 ha hutan mangrove dibuka dan sekitar 216.000 m3 kayu mangrove dijadikan  arang.
2.4 Hutan Mangrove di Bengkulu
            Lima puluh persen hutan mangrove yang terdapat di sepanjang 525 km pantai Barat telah mengalami kerusakan. Diperkirakan luas hutan mangrove di sepanjang pantai Barat sekitar 5.250 ha. Hutan mangrove yang relative masih utuh adalah di pulau Enggano.  Hutan mangrove di Enggano sebagian besar tersebar di bagian pantai sebelah timur Pulau Enggano, termasuk ke dalam kawasan hutan koservasi, seperti Cagar Alam Teluk Klowe, Cagar Alam Sungai Bahewa dan Taman Buru Gunung Nanua; luasnya 1.536,8 ha. Sebagian hutan mangrove juga terletak di sebelah barat Pulau Enggano, yaitu di Cagar Alam Tanjung Laksaha dan secara spot-spot terletak di sebelah selatan kawasan Cagar Alam Kioy (Senoaji dan Suminar, 2006). Hutan mangrove di Enggano mempunyai ketebalan antara 50-1500 m. Komposisi jenis penyusun hutan mangrove di Enggano  terdiri dari 16 jenis yaitu Rhizophora apicullata, R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Xyloacarpus granatum, Sonneratia alba, Ceriops tagal, Oncosperma filamentosa, Palmae sp., Terminalia catapa, Calamus ornitus, Hibiscus tiliacerus, Ficus sp., Baringtonia asiatica, Cerbera manghas, Scaevola taccada dan Pongamia pinnata. Tiga jenis pertama merupakan jenis-jenis yang dominant dan banyak menyebar di setiap kawasan Cagar Alam Suaka Alam Tanjung Laksaha. Lebar hutan mangrove di daerah ini bervariasi mulai dari 50-1000 m. Potensi hutan mangrove di cagar alam ini cukup tinggi yaitu 320 m3/ha dengan jumlah pohon 350 pohon/ha. Pohon-pohon yang berdiameter di atas 50 cm mencapai 30%, dengan rata-rata diameter pohon 36 cm dan tinggi 9 m.
2.5 Faktor Penyebab Rusaknya Hutan mangrove
1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
2.  Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
2.6 Akibat Rusaknya Hutan Mangrove
1. Instrusi air laut
            Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kea rah daratan sampai mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan  dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.
2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll.
3. Penurunan keanekaragamanhayati di wilayah pesisir
4. Peningkatan abrasi pantai
5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya produksi tangkapan ikan menurun.
6. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut dlll.
7. Peningkatan pencemaran pantai.
2.7 Pemecahan Masalah Rusaknya Mangrove
            Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah R I telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan  pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kea rah daratan.
            Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan mangrove antara lain:
1. Penanaman kembali mangrove
            Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan  hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat  antara lain terbukanya peluang kerja  sehingga terjadi peningkatan pendapatan masyarakat.
2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.
4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
6. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove
8. Penegakan hokum
9. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat. Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting dilibatkan  yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Selain  itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal  (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini. 
III. KESIMPULAN
1.      Adapun faktor penyebab rusaknya Hutan Mangrove
·         Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
·         Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
2.      Pemecahan masalah rusaknya Mangrove adalah sebagai berikut :
·         Penanaman kembali mangrove
·         Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir
·         Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab
·         Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.
·         Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi
·         Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir
·         Program komunikasi konservasi hutan mangrove
·         Penegakan hokum
·         Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.

 DAFTAR PUSTAKA
Arobaya, A dan A. Wanma. 2006. Menelusuri sisa areal hutan mangrove di Manokwari. Warta Konservasi Lahan Basah,14 (4): 4-5.
Gosalam, S., N. Juli dan Taufikurahman. 2000. Isolasi bakteri dari ekosistem mangrove yang mampu mendegradasi residu minyak bumi. D113-122. Prosiding Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Makasar.
Harianto, S. P. 1999. Konservasi mangrove dan potensi pencemaran Teluk Lampung. Jurnal Manajemen & Kualitas Lingkungan, 1 (1): 9-15.
Kompas. 2000. Separuh hutan bakau Sumatera Barat Rusak. Kompas 28 Februari 2000.
Munisa, A. A. H. Oli, A. K. Palaloong, Erniwati, Golar, G. D. Dirawan, M. S. Hamidua dan R. G. P. Panjaitan. 2003. Partisipasi masyarakat mangrove di Sulawesi Selatan. http://tumoutou,net/702_07134/71034_13.htm.
Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan masyarakat Pesisir Utara Nias dari tsunami. Warta Konservasi Lahan Basah,13 (2): 5-7.
Onrizal. 2006. Hutan mangrove. Bagaimana memanfaatkannya secara lestari? Warta Konservasi Lahan Basah, 14 (4): 6-8.
Santoso, U. 2007. Permasalahan dan  solusi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Bengkulu. Pertemuan PSL PT se-Sumatera tanggal 20 Februari 2006 di Pekanbaru.
Senoaji, G. dan R. Suminar. 2006. Daya dukung lingkungan pulau Enggano Propinsi Bengkulu. Bapedalda dan PSL Universitas Bengkulu. Bengkulu.