This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 29 Juni 2011

SWASEMBADA PANGAN MASIH MENUGGU KITA DI DEPAN


Oleh Reflis
oleh : Reflis

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sebagai negara agraris, keunggulan komparatif ( comparative advantage) Indonesia adalah agribisnis. Keunggulan komparatif tersebut merupakan fundamental perekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan ekonomi sehingga menjadi keunggulan bersaing ( competitive advantage). Dengan begitu perekonomian yang dikembangkan di Indonesia memiliki landasan yang kokoh pada sumberdaya domestik, memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari sisi permintaan, prospek pembangunan berkaitan dengan potensi pasar domestik dan internasional. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk – produk pertanian. Sampai saat ini, selain beras konsumsi per kapita produk – produk pertanian masih tergolong rendah, karena tingkat pendapatan per kapita masyarakat yang relatif rendah. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan jumlah penduduk, konsumsi produk – produk pertanian akan meningkat pula. Peningkatan permintaan akan mengarah kepada produk – produk pertanian olahan, sehingga melalui pengembangan produk olahan ( produk agro – industri) yang sesuai dengan permintaan pasar akan meningkatkan nilai tambah pertanian. Di masa mendatang, pengembangan agro – industri pedesaan merupakan langkah yang sangat strategis untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
Di pasar internasional, peluang pasar produk pertanian semakin meningkat dengan berkembangnya kesadaran masyarakat internasional terhadap kelestarian lingkungan, yang berarti akan mendorong meningkatnya permintaan produk pertanian yang ramah lingkungan dan meninggalkan penggunaan produk – produk kimia turunan (produk sintetis) yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan.
Peluang pengembangan pertanian berkaitan dengan upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi pertanian. Sampai saat ini tingkat penggunaan teknologi baik pra maupun pasca panen belum optimal. Hal ini ditunjukkan oleh adanya senjang hasil antara produktivitas riel di tingkat usahatani dan produktivitas potensial yang secara rata – rata berkisar antara 20 – 50 persen. Rendahnya tingkat penggunaan teknologi ini, karena berbagai keterbatasan seperti penguasaan lahan yang sempit, keterbatasan modal petani, rendahnya aksesibilitas terhadap sumber informasi, dan kurang tersedianya teknologi spesifik lokalita. Belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut :
• Masih banyak tersedia lahan potensial yang belum dimanfaatkan seperti lahan kering, lahan rawa, gambut, dan pasang surut.
• Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia belum dimanfaatkan dan dikembangkan secara maksimal. Dari jutaan spesies, baru sekitar 6000 spesies tanaman dan hewan yang telah dimanfaatkan. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan modal dan ketersediaan sarana pendukung investasi, serta rendahnya kualitas tenaga kerja pertanian.
• Tingkat kehilangan dan kerusakan pasca panen hasil – hasil pertanian masih cukup tinggi, yaitu berkisar antara 5 –15 persen. Hal ini antara lain menyebabkan mutu produk pertanian masih rendah.
• Ekspor produk pertanian Indonesia pada umumnya masih dalam bentuk komoditi primer dan bukan dalam bentuk produk olahan akhir, menyebabkan tingkat pendapatan petani rendah karena nilai tambah produk tidak dinikmati oleh petani.

II. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN
PADA ERA GLOBALISASI
2.1. Pembangunan Pertanian Era Globalisasi Dan Otonomi Daerah
Sektor pertanian telah dan terus dituntut berperan dalam pembangunan nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto ( PDB), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa melalui ekspor, penciptaan ketahanan pangan nasional, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan sektor lain.
Penyelenggaraan pembangunan pertanian saat ini dihadapkan pada sejumlah tantangan baik dari lingkungan strategis dalam negeri maupun lingkungan global. Tantangan pembangunan pertanian berkaitan dengan lingkungan strategis dalam negeri dalam jangka pendek adalah upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisisi ekonomi berkepanjangan, sementara dalam beberapa tahun kedepan dihadapkan pada kemampuan pembiayaan pemerintah yang sangat terbatas.
Dengan bergulirnya reformasi, pembangungunan nasional termasuk pembangunan pertanian diarahakan kepada tuntutan desentrallisasi, transparansi, akuntabilitas, demokrasi dan partisipasi masyarakat. Hal ini membawa tantangan baru bagi pembagunan pertanian ke depan berkaitan dengan pemberdayaan mayarakat dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelolah pembangunan.
Kondisi usaha pertanian dihadapkan kepada dualisme pelaku pembangunan pertanian yaitu pertanian rakyat tradisional berskala kecil subsisten dan pertanian modern yang dilakukan oleh usaha skala besar komersial. Hal ini memunculkan tantangan baru yaitu bagaimana memadukan kedua kelompok pelaku usaha pertanian tersebut secara optimal tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip efisiensi dan keadilan.
Adanya penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa telah berakibat serius dalam upaya peningkatan produksi pertanian terutama produksi pangan dan hal ini berdampak langsung terhadap ketahanan pangan nasional. Sementara pengmbangan dan pendayagunaan lahan di luar Jawa menghadapi kendala teknis yaitu produktivitas yang rendah.
Pembangunan pertanian tidak hanya ditentukan oleh kebijaksanaan di sector pertanian, tetapi sangat dipengaruhi oleh dukungan sector lain, seperti kebijaksanaan-kebijaksanaan makro, industri dan perdagangan, pengairan, permodalan, investasi, dan lainnya. Untuk itu, keberhasilan pembanguanan pertanian ke depan sangat bergantung pada dukungan sector lain.
Tantang pembangunan pertanian dari lingkungan strategis global antara lain dengan diratifikasinya beberapa kesepakatan internasional (GATT/WTO) dan regional (APEC,AFTA,MEE, NAFTA) serta blok-blok perdagangan lainnya, menyebabkan pasar di dalam negeri terintegrasi kuat dengan pasar regional/internasional. Kondisi ini memaksa setiap Negara membuka secara bertahap segala rintangan perdagagan dan investasi, serta menurunkan berbagai bentk proteksi berupa bea masuk yang tinggi dan subsidi. Dengan demikian, usaha pertanian domestic akan berkompetisi langsung dengan usaha pertanian global.
Proses liberalisasi yang didorong kuatb oleh revolusi bidang transportasi dan telekomunikasi, menyebabkan kebijaksanaan seperti seperti kebijaksanaan stabilisasi harga semakin sulit dilaksanakan pemerinta, karena dinamika harga internasional akan secara cepat langsung mempengaruhi kebijaksanaan dalam negeri.
Arus globalisasi dan liberalisasi semakin menguat, bukan saja dalam perdaganangan dan investasi, tetapi juga pada aspek-aspek lain seperti pola konsumsi masyarakat, kepedulaian terhadap kelestarian lingkungan, aspek hak asasi manusia (HAM) dan gender serta perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan merek dagang. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan produk pertanian. Untuk itu, mau tidak mau kita harus mampu meningkatkan daya saing pertania domestic.
Implementasi liberalisasi perdagangan produk, pertanian dunia bagi Negara berkembang sering dinilai tidak adil (Unfair trade). Hal ini karena sebagian besar negara, terutama Negara kaya dan maju memberikan berbagai bentuk subsidi dan proteksi bagi petani di negaranya. Sebagai contoh, tahun 2002 Amerika Serikat menyetujui farm bill yang menyangkut subsidi sebesar US $ 180,0 miliar dalam tempo 10 tahun atau setara dengan Rp 160 triliun per tahun. Subsidi Negara maju yang demikian besar cenderung mematikan usaha petani di Negara-negara berkembang. Beberapa Negara lain seperti, Eropa, Jepang, dan Korea juga melindungi produksi domestiknya melalui pemberian subsidi, sementara Indonesia, dengan adanya LOI-IMF pemerintah dipaksa untuk terus menurunkan tariff produk pertanian yang saat ini rata-rata sebesar 8,2 persen. Sebagai akibatnya Indonesia termasuk Negara paling liberal dalam perdagangan produk pertanian di antara produsen pertanian di dunia.
Usaha pertanian Indonesia merupakan sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat. Sebagian besar usaha pertanian tersebut dilakukan oleh rumah tangga skala kecil yang memerlukan perlindungan dan pembinaan pemerintah.
Dalam rangka melindungi usaha pertanian dan meningkatkan daya saingnya, pemerintah menerapkan kebijaksanaan promosi dan proteksi merupakan perpaduan atara upaya meningkatkan daya saing dan menerapkan kebijaksanaan perlindungan. Perlindungan usaha kecil dalam bentuk penerapan proteksi bagi usaha pertanian dan komoditi diberikan pada periode tertentu sehingga usaha tersebut mampu bersaing.
Kebijaksanaan dan strategi proteksiu untuk melindungi petani antara lain diupayakan baik melalui forum internasional maupun dalam negeri. Di forum WTO,Indonesia memimpin 33 negara berkembang yang dikenal dengan G-33 (Alliance for Strategi Product and Special Safeguard Mechanism) untuk memperjuangkan konsep Strategic Product (SP) yang ditujuukan untuk melindungi petani dari persaingan yang tidak adil yang dipraktekkan oleh Negara-negara maju. Sedangkan di dalam negeri strategi proteksi dirumuskan berbagai kebijaksanaan untuk melindungi petani, antara lain: (1) kebijaksanaan pangan nasional, yaitu dengan membentuk Dewan Ketahanan Pangan, Inpres Nomor: 9 tahun 2001 tentang kebjaksanaan perberasan nasional; penerapan bea masuk beras dan kebijaksanaan melarang impor beras sebulan sebelum panen raya, pada masa pane raya, dan dua bulan setelah panen raya; dana talangan untuk mengamankan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP); dan (2) kebijaksanaan pergulaan nasional, yaitu pengaturan tata niaga gula, termasuk bea masuk gula untuk mengangkat harga domestic, serta percepatan peningkatan produktivitas tebu rakyat.

2.2. Agenda Pembangunan Pertanian Mendatang
Sesuai dengan peran dan tuntunan yang saat ini dan kedepan kita menghadapi beberapa persoalan pokok pembangunan pertanian, yaitu:
Pertama: Pencapaian Kecukupan Pangan yang Dihasilkan Dariproduksi Domestik dan Tidak Mengandalkan Kepada Impor. Permintaan kebutuhan pangan kan terus meningkat sejalan denhan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang besar, sementara di sisi penyediaan kita menghadapi sulitnya mempertahankan sumberdaya lahan dan air untuk keperluan produksi pangan akibat tingginya laju konversi lahan pertanian potensial ke non-pertanian. Keterbatasan lahan pertanian apabila tidak ditangani sekarang akan menimbulkan bencana kekurangan pangan dimasa mendatang. Untuk beras, dengan angka konsumsi 130,5 kg/kap/tahun, dan angka kelahiran 1,34%/tahun, maka kebutuhan beras tahun 2010 dan 2020 masing-masing adalah 36 juta ton, dan 72,5 juta ton. Jika tidak dibarengi perluasan lahan pertanian, denagan kondisi sekarang mustahil Indonesia bisa mencapai ketahanan pangannya. Kita memerlukan lahan baru (lahan kering) dengan produktivitas 2 ton gabah kering giling/hektar sebesar 5 juta hektar tahun 2020 agar dapat mengejar konsumsi. Harus diingat, ini baru untuk beras saja.
Kedua; Menghasilkan Bahan Baku Industri Guna Mendukung Berkembangnya Agro-Industri Yang Berdaya saing. Penumbuhan agro-industri menuntut penediaan bahan baku yang memenuhi persyaratan dari segi jumlah(volume), kualitas, kontiinuitas dan harga yang sesuai.
Ketiga: Peningkatan Pendapatan Petani dan Pengentasan Kemiskinan. Peningkatan produksi ternyata tidak selalu diikuti oleh peningkatan pendapatan petani secara proporsional. Hal ini antara lain akibat nilai tukar pertanian yang cenderung penurun(laju kenaikan harga produk non-pertanian lebih tinggi dari laju kenaikan harga produk pertanian). Rendahnya harga yang diterima petani juga dapat disebabkan oleh struktur pasar komoditi pertanian dan rendahnya daya tawar petani.
Keempat: Peningkatan produktifitas tenaga kerja pertanian. Transformasi ekonomi yang dilakukan pada kegiatan pembangunan telah mengakibatkan penurunan pangsa PDB pertanian. Namun penurunan pangsa PDB tersebut tidak diimbangi oleh penurunan jumlah tenaga kerja pertanian yang berakibat pada rendahnya produktifitas tenaga kerja sector pertanian dibandingkan dengan produktifitas tenaga kerja non-pertanian. Ini merupakan persoalan klasik bangsa kita. Disatu pihak sector non-pertanian belum mampu menuyerap tenaga kerja dalam jumlah besar karena umumnya bersifat padat modal, bukan padat karya. Dipihak lain, mutu SDM pertanian itu sendiri masih rendah, berakibat pada rendahnya produktifitas.
Kelima: Peningkatan investasi pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan dalam merangkai peningkatan sebesar-besarnya peran masyarakat/swasta dalam pengembangan usaha pertanian. Pemerintah berperan memfasilitasi tumbuhnya partisipasi masyarakat tersebut. Dalam pengembangan usaha pertanian/agribisnis diperlukan adanya investasi. Namun saat ini akses terhadap permodalan formal relative terbatas sebagai akibat adanya kesenjangan kebijaksanaan, aturan dan prosedur dibidang permodalan dengan kondisi masyarakat agribisnis yang sebagian besar sekala kecil dan menuntut kemudahan prosedur. Sebaliknya, dari pihak lembaga keuangan dituntut persyaratan kelayakan usaha(Bankable). Untuk itu diperlukan adanya lembaga untuk mengatasi kesenjangan ini. Konsultan Keuangan Mitra Bank(KKMB) yang baru-baru ini dibentuk pemerintah diharapkan mampu membuka aksess modal ini .
Keenam:Optimalisasi sumberdaya pertanian. Tingginya laju Konversi lahan pertanian subur di Jawa dan sekitar dan sekitar daerah perkotaan pada umumnya menharuskan kita memanfaatkan lahan- lahan yang relative kurang subur dan marjinal. Sementara, pengembangan kawasan irigasi baru berskala besar untuk lahan pangan juga semakin sulit kareena semakin langkanya sumber air dan lahan hamparan yang diairi, pembangunan system pengairan berskala besar relative mahal, dan membutuhkan waktu panjang dan sarat dengan masalah social. Untuk itu kita dituntut untuk mempunyai kemampuan yang didukung oleh teknologi untuk memanfaatkan lahan-lahan kurang subur, marjinal dan berskala kecil-kecil. Urgensi pendayagunaan lahan kurang subur juga karena masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan berada diwilayah tersebut.
Ketujuh: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Pembangunan pertanian merupakan pendayagunaan sumberdaya alam untuk tujuan usaha pertanian. Dengan demikian keberlanjutan usaha sangat terkait dengan kelestarian sumberdaya pertanian, terutama lahan, air dan plasma nutfah. Kesadaran terhadap lingkungan dan keberlanmjutan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh berkaitan dengan pengamanan keberlanjutan usaha. Pembangunban pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha pertanian melalui penerapan teknologi dan kelembagan secara berkesenambungan bagi generasi kini dan masa depan.

2.3. Strategi Pembangunan Pertanian
Untuk mendayagunakan keunggulan Indonesia sebagai negara agraris serta menghadapi tantangan (Otonomi daerah, liberalisasi perdagangan, perubahan internasional lainnya) kedepan, pemerintah (Departemen Pertanian beserta Departemen terkait) telah mempromosikan pembangunan system dan usaha agribisnis yang berdayasaing (competitive), berkerakyatan(people-Driven), berkelanjutan (Sustainable) dan terdesentralistis (Decentralized).
Pembangunan system dan usaha agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan secara simultan dan harmonis pembangunan sector pertanian (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri (industrial cluster) yang mencakup lima subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani/ternak, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa.
Dengan pengertian agribisnis yang demikian berarti suatu system mencakup lima subsistem yakni: Pertama, Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yakni kegiatan ekonomi (industri, perdagangan) yang menyediakan saran produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk, pestisida dan lainnya), industri agro-otomotif (mesin dan peralatan) dan industri pembibitan/perbenihan. Kedua, subsistem usaha tani (on-farm agribusiness) yakni kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan dari subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan komoditi pertanian primer. Termasuk kedalam subsistem ini adalah usaha tanaman pangan, usaha tanaman holtikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan dan kehutanan. Ketiga subsistem pengolahan(down stream agribusiness) yakni kegiatan industri yang mengolah komoditi pertanian primer menjadi produk olahan baik produk antara(Intermediate product) maupun produk akhir(final product). Kedalam subsistem ini masuk industri pengolahan makanan dan minuman, industri pengolahan serat(kayu, kulit, karet, sutera, jerami), industri jasa boga (Food service industry), industri parmasi dan bahan kecantikan, dan lain-lain. Keempat, subsistem pemasaran yakni kegiatan- kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditi pertanian baik segar maupu olahan didalam dan diluar negeri. Termasuk didalamnya adalah kegiatan distribusi untuk memperlancar arus komoditi dari sentra produksi kesentra konsumsi, promosi, informasi pasar serta intelijen pasar (market intelligence).
Dalam konteks pembangunan ekonomi, pembangunan system agribisnis tidak dapat terlepas dari sector penunjang perekonomian. Oleh karena itu, selain keempat subsistem diatas, diperlukan subsistem kelima sebagai bagian dari pembangunan system agribisnis. Subsistem penunjang yang dimaksud adalah seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis seperti lembaga keuangan (Bank dan non-Bank), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga transfortasi, lembaga pendidikan dan penyuluhan, lembaga keuangan mikro dan sebagainya.
Dengan konseptualisasi pembangunan system agribisnis yang demikian, maka prinsip pokok dalam pembangunan system agribisnis adalah mengembangkan seluruh subsistem tersebut secara simultan dan harmopnis. Secara simultan artinya subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa penunjang harus di kembangkan sekaligus. Sedangkan secara harmonis maksudnya adalah bahwa ke-lima subsistem tersebut haruslah berkembang secara berimbang. Ketertinggalan perkembangan salah satu subsistem akan menjadi pembatas (bottleneck) system agribisnis secara keseluruhan. Ibarat iring-iringan suatu konvoi, laju konvoi secara keseluruhan akan ditentukan oleh komponen konvoi yang paling lambat lajunya. Oleh karena itu tugas pengelolaan pembangunan system agribisnis adalah menjaga keharmonisan perkembangan ke-lima subsistem agribisnis tersebut sedemikian rupa sehingga menjadi ”orchestra” pembangunan yang saling mendukung.
Pembangunan system agribisnis tersebut perlu ditempatkan bukan hanya sebagai pendekatan pembangunan pertanian, tetapi lebih dari itu pembangunan system agribisnis perlu dijadikan sebagai penggerak utama (grand strategy) pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan (agribusiness-led development). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan strategis yakni: Pertama, membangun perekonomian yang berdaya saing berdasarkan keunggulan komparatif sebagai Negara agraris dan maritime merupakan amanat konstitusi sebagaimana dimuat dalam GBHN 1999-2004; Kedua; Data Menunjukan bahwa sektor agribisnis merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB, kesempatan kerjadan berusaha serta ekspor. Ketiga, agribisnis merupakan sektor utama perekonomian daerah baik dalam pembentukan PDB, kesempatan kerja dan berusaha maupun dalam ekspor daerah. Selain itu, sumberdaya ekonomi daerah yang paling siap didayagunakan untuk percepatan pembanguna ekonomi daerah adalah sumberdaya agribisnis; Keempat, dengan membangun sistem agribisnis maka secara in-heren (built-in) akan membangun sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman bahan pangan, budaya dan kelembagaan lokal. Pembangunan sistem ketahanan pangan (food security) yang kokoh tetap menjadi salah satu prioritas ke depan, karena sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat berkaitan erat dengan ketahanan sosial dan ketahanan ekonomi bahkan ketahanan nasional (national security) secara keseluruhan; Kelima, pembangunan sistem agribisnis berperan penting dalam pelestarian lingkungan hidup.
Dengan perkatan lain, dengan menempatkan pembangunan sistem agribisnis sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional (agribusiness-led development) maka persoalan ekonomi Indonesia saat ini seperti pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan devisa, pemerataan, percepatan pembangunan ekonomi daerah, membangun ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan hidup, akan dapat dipecahkan sekaligus dan berkelanjutan.
Seperti diuraikan terlebih dahulu, pembangunan perekonomian Indonesia melalu pembangunan sistem dan usaha agribisnis ke depan dihadapkan pada dua tantangan besar yang perlu diakomodasikan dimaksudkan adalah: Pertama, liberalisasi perdagangan internasional memerlukan peningkatan kemampuan bersaing ; Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang di dalamnya menyangkut pengurangan peranan langsung pemerintah dan desentralisasi pembangunan, dan lain-lain.
Berdasarkan tantangan tersebut dan memperhatikan kondisi saat ini, visi pembangunan sistem agribisnis sebagai penggerak utama pembangunan nasional adalah : “Terwujud perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi”.
Dengan visi tersebut, ke depan kita akam membangun suatu sistem atau struktur agribisnis yang mencangkup industri hulu pertanian, pertanian itu sendiri, industri hlir pertanian serta jasa-jasa pendukung; yang berdayasaing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Selain itu, juga dikembangkan usaha-usaha agribisnis yang mencangkup usaha rumah tangga, usaha kelompok, usaha kecil, usaha menengah , usaha koperasi dan korporasi yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.
Berdayasaing dicirikan antara lain berorientasi pasar, menngkatkan pangsa pasara khususnya di pasar internasional dan mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melalui pemanfaatan modal (capital-driven), pemanfaatan inovasi teknologi (innovation-driver) serta kreativitas sumberdaya manusia (skill-driven) dan bukan lagi mengandalkan melimpahnya sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor driven).
Berkerakyatan dicirikanantara lain dengan mendaya gunakan sumber daya yang dimiliki atau dikuasai rakyat banyak, menjadikan organisasi ekonomi dn jaringan organisasi ekonomi rakyat banyak menjadi pelaku utama pembangunan agribisnis, sehingga nilai tambah yang tercipta dinikmati secara nyata oleh rakyat banyak.
Berkelanjutan dicirikan antara lain memiliki kemampuan merespons perubahan pasar yang cepat dan efisien, berorientasi kepentingan jangka panjang, inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi ramah lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Terdesentralisasi dicirikan antara lain berbasis pada pendaya gunaan keragaman sumberdaya lokal, berkembangnya keratifitas pelaku ekonomi lokal, memampukan pemerintah daerah sebagai pendorong utama pembangunan agribisnis dan peningkatan bagian nilai tambah yang dinikmati masyrakat lokal.

2.4. Kebijaksanaan Strategis Masa Mendatang
Kata kunci dalam globalisasi perdagangan dan investasi adalah penurunan biaya produksi. Penurunan biaya harus dilakukan secara kontinu melalui penelitian dan aplikasinya, serta melalui investasi infrastruktur pedesaan. Tanpa perbaikan invrastruktur pedesaan seperti irigasi dan jalan usaha tani maka keunggulan sumber daya tidak mempunyai dampak multiplier.
Unsur utama untuk menjamin ketahanan pangan adalah peningkatan pendapatan kaum miskin. Marginal propensity kaum miskin terhadapat pangan cukup tinggi. Oleh karena itu supaya sentral untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan adalah melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja. Dimasa mendatang pertumbuhan sektor pertanian akan menurunkan kemiskinan, dan diperlukan laju pertumbuhan pertanian melebihi pertumbuhan penduduk guna menyediakan lapangan kerja. Dengan laju pertumbuhan penduduk tahun ini sebesar I,34 persen/tahun, maka diperlukan pertumbuhan pertanian sekitar 2-3 persen/tahun.
Pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh sekotor pertanian mempunyai dampak kuat dalam mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian akan merangsng permintaan dan jasa non-pertanian sehingga pendapatan sektor non-pertanian pedesaan akan meningkat. Study yang dilakukan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) 2003 di Afrika menunjukkan bahwa setiap tambahan US$ 1 pendapatan petani berpotensi menambah pendapatan antara US$ 0.96- US$ 1,88. Maka sangat strategis agar pemerintah memprioritaskan pengentasan kemiskinan pedesaan melalui sektor pertanian. Upaya pengentasan kemisknan tidak akan mungkin tanpa peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Upaya yang dikemukakan diatas akan lebih cepat lagi mana kala disertai dengan pembangunan agro-industri berbasis pedesaan secara terencana untuk lebih mendayagunakan keunggulan komparatif kita. Agro-industri pedesaan akan lebih menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja pedesaan dan tidak memerlukan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Maka kebijaksanaan industri masa depan haruslah berbasis agro-industri. Agro-industri juga akan meningkatkan nilai tambah. Dengan demikian masalah kembar bangsa yaitu kemiskinan dan pengangguran secara simeltan terpecahkan. Sektor pedesaan kita akan mengalami modernisasi sehingga suatu saat apabila kebijaksanaan ini dilakukan secara terencana dan konsisten akan terjadi keseimbangan kota-desa.
Inilah salah satu esensi pendekatan sistem agribisnis. Sangat diperlukan sinergi sedikitnya 2 sektor yaitu sektor pertanian dan sektor industri menjadi sektor kembar yang dijembatani oleh agro-industri. Sinergi tersebut akan jauh lebih dasyat lagi jika didukung oleh kebijaksaan perdagangan melalui sistem perdagangan golbal yang tidak mengorbankan pertanian serta sistem perdagangan lokal yang memperlancar distribusi produk-produk pertanian dari sentra produksi kesentra konsumsi. Biaya pemasaran akan turun manakala titik berat investasi dilakukan untuk memperbaiki infrastruktur jalan dan irigasi pedesaan. Ini harus merupakan respons aktif Indonesia menghadapi arus globalisasi.
Guna mewujudkan hal-hal yang diuraikan di atas, diperlukan kebijaksanaan-kebijaksanaan konkrit berikut:
1. Komitmen politik pemerintah dan legeslatif yang kuat untuk membuka lahan pertanian baru di luar Jawa sepuluh tahun kedepan sebesar 5 juta Ha disertai prioritas pembangunan irigasi dan infra struktur pedesaan secara besar-besaran. Hal ini perlu untuk menggeser beban pulau Jawa yang semakin berat sebagai sentra produksi pangan nasional. Pinjaman luar negeri sangat diperlukan untuk maksud ini.
2. Deregulasi pestisida dan pupuk untuk mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru di bidang produksi dan perdagangan pestisida dan pupuk sehingganmakin banyak produk pestisida dan pupuk yang dapat dipilih petani dengan harga yang makin kompetitif. Untuk pupuk, pembangunan pabrik-pabrik pupuk baru masih sangat diperlukan guna menambah kapasitas produksi pupuk domestik. Deregulasi ini akan meningkatkan produktifitas pertanian.
3. Kebijaksanaan perbenihan/pembibitan untuk mendorang berkembangnya usaha perbenihan/pembibitan domestic oleh swasta dan kelompok tani di setiap daerah. Untuk tahun anggaran 2005, dana pemerintah untuk maksud ini sedang diusahakan oleh Deptan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-Reboisasi di berbagai Kabupaten.
4. Komitmen politik yang kuat untuk mengembangkan agro-industri pedesaan. Selama ini telah banyak dibangun sentra-sentra produksi di kawasan agribisnis unggulan. Sudah saatnya dibuat suatu grand strategi pembangunan agro-industri pedesaan secara nasional guna mendapatkan nilai tambah dan memberikan kesempatan kerja pedesaan yang pada gilirannya mengentaskan kemiskinan. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya adalah upaya mereduksi kerusakan dan kehilangan pasca panen. Dengan cara ini pasar pedesaan juga akan tercipta.
5. Kebijaksanaan percepatan disseminasi teknologi. Kebijaksanaan Deptan yang mengharuskan Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan mulai tahun 2003 bekerjasama dengan pengguna langsung teknologi (para petani dan dunia usaha) untuk meningkatkan produktifitasnya melalui business innovation.
6. Deregulasi sektor keuangan untuk lebih mendorong tumbuhnya lembaga keuangan mikro di pedesaan (seperti P4K, simpan pinjam, credit union, dll). Dengan cara ini uang akan lebih banyak beredar di pedesaan untuk menggerakkan sektor real.
7. Kebijaksanaan peningkatan kemampuan SDM petani dan penyuluh melalui sekolah lapang dan berbagai pelatihan. Kelembagaan inkubator agribisnis perlu segera dikembangkan untuk percepatan implementasi visi membangun sistem dan usaha agribisnis ke depan.
8. kebijaksanaan untuk mendorong tumbuh-kembangnya organisasi ekonomi petani yang bergerak dalam usaha-usaha agribisnis hulu dan hilir. Organisasi ekonomi petani ini sangat kita harapkan menjadi perancang sistem agribisnis dan usaha pedesaan di masa mendatang.

III. KESIMPULAN
Sebagai Negara agraris, keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia adalah di bidang agribisnis. Apabila pembangunan dilaksanakan atas dasar keunggulan tersebut, perekonomian yang terbangun akan berdayasaing dan berdayaguna bagi pembangunan nasional dan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu dalam menghadapi tantangan pembangunan pertanian saat ini dan mendatang, pembangunan sistem dan usaha agribisnis sebagai strategi pembangunan pertanian merupakan pilihan yang tepat. Strategi ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, sekaligus pemerataan.
Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan secara simultan dan harmonis pembangunan sektor pertanian (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri yang mencakup lima subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani/ternak, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa penunjang.
Dengan paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis, pembangunan pertanian harus didasarkan kepada prinsip-prinsip bisnis. Dengan demikian strategi pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus dibangun dengan mempertimbangkan dinamika yang terjadi, terutama berkaitan dengan dinamika lingkungan strategis global dan domestik.
Pembangunan pertanian menghadapi tantangan berat yaitu globalisasi dalam konteks eksternal, serta otonomi daerah dalam konteks internal. Diperlukan respons seluruh stakeholders berupa efisiensi biaya produksi, dukungan investasi infrastruktur agribisnis pedesaan, peningkatan produktifitasnya dari hulu ke hilir, lembaga keuangan mikro, serta dukungan SDM agribisnis yang handal.
Pembangunan pertanian masa depan tidak boleh lagi dipandang secara tersekat-sekat, sekedar penyedia pangan dan bahan baku industri. Pertanian adalah bisnis besar yang dijalankan oleh berjuta-juta usaha agribisnis skala kecil dengan berbagai kendala dan keterbatasan daya saingnya. Agribisnis memerlukan integrasi lintas sektoral. Kebijaksanaan pertanian, kebijaksanaan industri dan perdagangan, kebijaksanaan infrastruktur, kebijaksanaan teknologi, kebijaksanaan permodalan dan investasi, kebijaksanaan SDM haruslah saling sinergi agar menjadi energi yang dasyat membangun daya saing bangsa masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Agrina. 2007. Swasembada Beras. Jakarta
Agrina. 2007. Pasar Menunggu Beras Hibrida. Jakarta
BPS, Bappenas, UNDP (2004), Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia, UNDP: Jakarta
Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Agribisnis Sebagai Penggerak Perekonomian Nasional.
Nainggolan, Kaman. 2005. Pertanian Indonesia Kini dan Esok. Jakarta:Gramedia

Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta. Jurnal ekonomi [Artikel - Th. II - No. 7 - Oktober 2003] oleh Bayu Krisnamurthi

“JANGAN REBUT PASAR SAWIT KAMI”

Oleh : Reflis

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada 4 Juni 2007 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan tambahan dukungan bagi sektor pertanian. Ia berniat menyisihkan dana sebesar Rp 7,8 triliun pada tahun 2007 untuk perluasan pertanian, yang merupakan peningkatan yang signifikan (masing-masing 24% dan 54%) dari tahun-tahun sebelumnya (2006: Rp 6,3 triliun dan 2005: Rp 4,1 triliun). Namun demikian, pelaksanaan kebijakan nasional merupakan suatu pekerjaan yang jauh lebih rumit dan penuh tantangan daripada memperbaiki sebuah propinsi kecil seperti Gorontalo. Akibatnya, paket kebijakan nasional tersebut mencakup hampir semua hal yang terpikir oleh kita: perbaikan irigasi, penyediaan benih, pupuk, pestisida, dan secara umum teknologinya (Adam, 2007).
Pengelolaan paket kebijakan ini masih birokratis dan bersifat top-down. Di Uni Eropa yang terkenal dengan sejarah panjang proteksi pertaniannya, diperkirakaan haya sekitar 20% dari setiap 1 € yang disediakan dalam bentuk subsidi berhasil mencapai penerima yang dituju, yakni para petani. 80% lainnya tertelan oleh birokrasi yang tidak efisien, oleh pemerintah dan para prantara. Meskipun terdapat kritik demikian, harus diakui bahwa kebanyakan negara anggota Uni Eropa dikelola dan dijalankan dengan cara yang lebih baik daripada Indonesia. Pertanyaannya sekarang adalah berapa besar dari subsidi yang disediakan di Indonesia berhasil mencapai petani pengahsil primer? Tebakan saya adalah sekitar separuh dari apa yang telah dicapai oleh orang Eropa. Artinya, dari setiap 1.000 rupiah yang disediakan untuk subsidi pertanian, hanya sekitar 100 rupiah yang berhasil mencapai petani Indonesia. 90% sisanya bisa dikatakan menguap dan menguntungkan orang lain, bukan para petani (Arifin, 2007).
Subsidi-subsidi yang ada saat ini, yakni yang diberikan kepada BUMN yang memproduksi pupuk, benih, bahan-bahan kimia, dsb. Bukanlah merupakan subsidi pertanian melainkan subsidi BUMN, yang pengelolaannya penuh dengan inefisiensi, seperti yang ditemukan oleh BPK setiap tahunnya. Pengalaman dari negara-negara tetangga mengindikasikan bahwa diperlukan lebih banyak persaingan untuk memaksa BUMN-BUMN menjadi lebih efisien. Akan tetapi selama BUMN dilihat sebagai suatu solusi dan bukan sebagai suatu problem terhadap sistem, tidak ada yang secara signifikan akan berubah bagi nasib petani (Oktaviani,2007).
Menghadapi krisis harga minyak goreng yang berkepanjangan, pemerintah mulai menyiapkan mekanisme insentif dan disinsentif. Ini merupakan sikap tegas pemerintah agar kuota pasokan minyak sawit mentah (CPO) di dalam negeri sebesar 100.000 hingga 150.000 ton per bulan dengan harga tertentu dapat segera dipenuhi, sehingga gejolak harga minyak goreng di pasar domestik bisa segera diatasi. Keputusan pemerintah menaikkan pajak ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen, Jumat (15/6), yang diumumkan Menko Perekonomian Boediono, ternyata ditanggapi dingin oleh pengusaha minyak goreng. Bahkan, kalangan pengamat ekonomi pesimistis bahwa langkah itu bisa segera menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri ke level Rp 6.000,00-an per kilogram. Namun, sayang instrumen yang digulirkan pemerintah belum jelas dan dikhawatirkan akan memunculkan masalah baru yang tak kalah pelik. Sebab, dengan kenaikan pajak ekspor justru akan menurunkan harga sawit segar dari petani. Akhirnya, petani pula yang akan menanggung beban berat dari kenaikan pajak ekspor. (Iskandar, 2007).
Pengaruh pada perekonomian makro tentu memberi goncangan karena kebijakan menaikkan Pajak ekspor dapat menurunkan minat investor menanamkan modalnya di sektor agrobisnis sawit. Padahal agroindustri sawit memiliki spin off untuk tumbuhnya industri pangan, kimia, kosmetika dan bioenergi yang dapat menampung tenaga kerja. Jika pemerintah terus berkutat diseputar kenaikan pajak ekspor untuk program stabilisasi harga (PSH) minyak goreng, maka komoditas yang satu ini pada akhirnya kian sarat dengan aroma politis. Jika seseorang tidak mengonsumsi makanan gorengan selama berbulan-bulan, ia padahal belum mengalami gizi buruk dan kurang energi. Artinya, minyak goreng bukanlah sumber energi utama seperti halnya beras yang menjadi makanan pokok kita. Harapan untuk bangkit dari krisis ekonomi tampaknya masih sulit diwujudkan karena pemerintah sibuk membahas PSH minyak goreng sehingga lupa merumuskan pengembangan industri berbasis minyak sawit yang berdaya saing tinggi (Saragih, 2006)
1.2 Rumusan Masalah.
1. Apakah sawit itu komoditas strategis sehingga harganya perlu diatur oleh pemerintah?
2. Apakah kebijakan larangan ekspor dengan naiknya pungutan ekspor yang amat signifikan ini akan mampu mengendorkan minat para pemain bisnis CPO untuk mengekspor hasil olahan tandan buah sawit ini?
3. Apakah pemerintah memandang anak kunci keberhasilan pengendalian harga minyak goreng di pasar domestik adalah dengan mengurangi ekspor CPO.


II. PASAR SAWIT INDONESIA

2.1. Apakah sawit itu komoditas strategis sehingga harganya perlu diatur oleh pemerintah?
Itu Bukan Komoditas Starategis, sawit adalah komoditas pertanian biasa saja, tidak seperti beras. Kenapa pengusaha begitu lemah menerima saja tugas dan tanggung jawab tersebut, ada apa sebenarnya yang terjadi? Kalau itu karena rasa tanggung jawab sosial kita pujilah meraka, tapi kalau karena alasan lain kasihanlah mereka. Pengalaman tahun 1997–1998 dengan adanya pajak ekspor tambahan yang diuntungkan bukanlah konsumen, bukan petani dan pengusaha, bukan juga dana pemerintah. Jangan-jangan hal yang sama terjadi lagi saat ini, dan tampaknya kita tidak belajar dari pengalaman pahit itu. Selama dua bulan terakhir ini harga minyak goreng tetap meninggi. Sejumlah kalangan memperkirakan kenaikan harga minyak goreng akan terjadi. Kebijakan yang menempatkan minyak goreng menjadi komoditas strategis–padahal kontribusi minyak goreng terhadap belanja rumah tangga hanya 1,9 persen–telah melupakan keluarga petani sawit karena pemerintah tega memangkas kesempatan mereka mendapatkan penghasilan lebih baik yang sudah lama ditunggu.
Pasalnya, pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) di pasar internasional erat kaitannya dengan dengan harga domestik. Tren penggunaan minyak sawit mentah sebagai bahan baku bahan bakar nabati (biodiesel) telah mendorong secara signifikan permintaan CPO di pasar dunia. Drama pertarungan industri pangan dan industri biodisel memperebutkan bahan baku CPO telah menetaskan harga minyak goreng yang makin tak terjangkau rakyat kebanyakan.CPO makin digandrungi dunia industri. Selain diolah untuk menghasilkan berbagai produk turunan di bidang pangan, negara-negara maju mulai melirik CPO untuk diolah menjadi biodisel sebagai pengganti minyak bumi, yang akhirnya mendongkrak harga CPO di pasari nternasional. Minyak sawit mentah Indonesia pun mengalir deras membanjiri pasar ekspor dan jumlahnya mencapai 11,5 juta ton dari total produksi 16 juta ton tahun 2006. Pihak prosesor minyak goreng domestik kesulitan memperoleh CPO dan murahnya harga minyak goreng naik secara signifikan sehingga perlu digelar OP. Di sejumlah daerah warga dengan jerigen mengantre dengan baik untuk mendapatkan minyak goreng murah, Rp.6.500. Namun OP tidak membuahkan hasil.
Kebijakan Pemerintah:
Pemerintah pun merumuskan kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk mewajibkan produsen CPO dan produsen minyak goreng mengutamakan pasokan ke pasar domestik. Sayangnya, kebijakan inipun gagal. Upaya lain pun digulirkan dengan mempercepat kenaikan pungutan ekspor CPO dan turunannya menjadi 6,5 – 10 persen sejak15 Juni. Patut disadari ada faktor eksternal diluar kendali pemerintah, yakni harga CPO di pasar internasional. Pemerintah pun harus selalu mengeluarkan peraturan baru untuk mengatur persentase pungutan ekspor jika harga CPO di pasar internasional naik guna mencegah ekpor secara besar-besaran.


2.2. Apakah kebijakan larangan ekspor dengan naiknya pungutan ekspor yang amat signifikan ini akan mampu menstabilkan haega minyak goreng domestik?

Kebijakan Larangan Ekspor CPO bukanlah pilihan terbaik untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri. Sebaliknya bisa merusak kepercayaan pihak luar negeri terhadap komitmen dagang pemerintah Indonesia dan mendorong penyeludupan CPO besar-besaran karena disparitas harga yang tinggi. maka ada sejumlah faktor penting yang belum bisa dikendalikan pemerintah yang berpengaruh pada harga minyak goreng di pasar, yakni mata rantai CPO dan minyak goreng masih diluar kendali pemerintah, tidak adanya data yang akurat ke mana CPO dijual sehingga muncul dugaan tetap berlangsung penyeludupan CPO dan tidak adanya kebijakan CPO dan minyak goreng yang padu antar departemen teknis terkait. Kebijakan pemerintah yang mempercepat kenaikan Pajak ekspor telah mengecewakan petani kelapa sawit.
Di sisi lain kebijakan yang tidak populer ini dikhawatirkan akan memukul balik perekonomian nasional, sebab pendapatan petani disumbat sementara kebutuhan hidup dan harga sarana produksi pertanian naik secara signifikan yang pada gilirannya petani akan mengurangi biaya operasional untuk memelihara tanaman. Dampak jangka panjang adalah menurunnya produktivitas tanaman dan muaranya tingkat pendapatan mereka pun akan anjlok dan konsekuensi logisnya jumlah kemiskinan di Tanah Air kembali memuai.Industri Hilir CPO.
.
Pengembangan agroindustri yang satu ini jika dilaksanakan secara terpadu maka di masa datang dapat menggeser peran Indonesia dari pengekspor CPO menjadi penghasil dan pengekspor produk olahan berbasis CPO yang andal.Industri hilir minyak sawit harus menjadi prime mover untuk membangkitkan kembali perekonomian Indonesia. Kehadiran industri turunan CPO dapat memberi nilai tambah berlipat ganda karena produknya sudah lebih beragam mulai dari bahan pangan hingga oleochemicals. Saat ini, industri hilir CPO di Indonesia masih didominasi oleh industri produk pangan jadi. Melalui proses fraksinasi, rafinasi, hidrogenasi, deodorisasi dan interesterifikasi dan pemurnian, CPO bisa disulap menjadi minyak goreng, margarin, cocoa butter subsitute (CBS), es krim dan lain-lain. Dengan pengembangan industri oleochemicals, CPO dapat diolah lebih lanjut menjadi produk farmasi, kosmetika, plastik, minyak pelumas, biodiesel, gliserin, fatty alkohol hingga produk healty oil. Beragamnya produk olahan CPO yang membuka lapangan kerja baru bagi warga, pemerintah patut mendorong pembangunan industri hilir CPO.

Tetapi yang mengherankan, entah bagaimana atau tekanan dari pemerintah dunia usaha setuju untuk melakukan stabilisasi harga itu, mengambil alih peran dari pemerintah. Memang selalu ada siklus mengenai harga CPO. Sampai batas-batas tertentu harganya rendah kemudian timbul harganya sangat tinggi seperti sekarang ini, menjadi lebih dari US$ 750/ton. Akhirnya nanti akan turun juga. Harga CPO naik maka biaya produksi dari minyak goreng naik, karena harga produksi naik maka dia harus menaikkan harga minyak gorengnya. Itu bisnis biasa kan? Yang heran saya mengapa bisnis biasa diatur dengan cara luar biasa? Kemudian bila itu realitasnya lantas bagaimana akibat dari pengaturan itu? Sebelum melihat akibatnya, kita analisis dulu apakah benar-benar kenaikan harga itu akan merugikan perekonomian kita.
Penurunan harga minyak goreng itu tidak banyak membantu konsumen dan efeknya terhadap inflasi juga kecil sekali. Sebab minyak goreng dalam komposisi konsumsi masyarakat itu kecil sekali, tidak seperti beras. Jadi tidak perlu ditakutkan bahwa kenaikkan harga minyak goreng akan mengakibatkan inflasi naik. Barangkali ini yang ditakutkan pemerintah, tapi ketakutan ini tidak ada dasarnya. Harga CPO dan minyak goreng naik, maka harga minyak kelapa akan naik. Bila harga minyak kelapa naik itu akan menguntungkan petani kelapa, sehingga mereka bisa meremajakan tanaman kelapanya. Jadi bila harga minyak sawit tidak diturunkan, ada potensi untuk mengembangkan kelapa di dalam negeri. Kelapa adalah sumber minyak yang sangat baik tetapi harganya lebih mahal dari minyak sawit. Tetapi dengan harga CPO begini tinggi, maka harga minyak kelapa akan menjadi menguntungkan bagi pabrikan dan petani kelapa. Jika harga minyak sawit diturunkan, itu akan merugikan petani kelapa kita. Dan petani kelapa sawit serta pengusaha minyak goreng juga dirugikan. Jadi kebijakan kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng yang artinya menurunkan harga yg sebenarnya merugikan produsen dan menguntungkan tidak seberapa konsumen. Tetapi dengan pengaturan seperti ini, yang terjadi nanti adalah kekacaubalauan. Hal itu sudah kita alami pada 1997–1998, sewaktu pajak ekspor tambahan itu diterapkan. Dan bila kondisi ini berlangsung cukup lama, harga minyak goreng di dalam negeri lebih rendah daripa harga internasional, maka akan ada penyelundupan. Jika ada penyelundupan, konsumen dan produsen dalam negeri tidak untung, tetapi yang untung adalahpenyelundup. Sekalipun stabilisasi harga minyak goreng diterapkan seharusnya bukan menjadi tugas dan tanggung jawab petani kelapa sawit dan pabrikan minyak goreng. Ingat sepertiga dari areal sawit kita itu ada di tangan petani kecil. Kalau stabilisasi harga itu dirasakan oleh pemerintah sebagai suatu hal yang penting maka pemerintah yang melakukannya dan dia melakukan itu melalui kebijakan fiskal dan pembelanjaanpemerintah. Pemerintah membeli minyak goreng dari pabrikan dengan harga tinggi dan menyalurkannya kepada konsumen yang membutuhkan dengan harga murah. Selisih harga itu dibiayai dari APBN sehingga mudah untuk mengevaluasinya. Bila ada yang mengatakan itu seperti durian runtuh buat petani dan para pengusaha dengan harga CPO begitu tinggi. Memang durian runtuh pada saat sekarang dan di akhir tahun dihitung keuntungannya meningkat, dan tentunya pajaknya juga akan meningkat. Jadi pendapatan pemerintah dari sawit akan meningkat. Jadi karena pendapatan pemerintah dari sawit meningkat, dia cukup punya dana untuk melakukan stabilisasi. Tapi menugaskan ini kepada para pabrikan, pengusaha, dan petani itu berarti pendapatan mereka bisa berkurang dan pembayaran pajaknya juga berkurang, yang lebih parah lagi di situ akan terjadi kekacaubalauan. Ini sudah mulai kelihatan, seperti Dirjen Pajak sudah bikin wanti-wanti agar jangan bermain dengan pajak. Ini terlihat seolah-olah pemerintah mau enaknya saja. Sebab pemerintah yang mengatur pajak dan perdagangan kurang koordinasi.

2.3. Apakah pemerintah memandang anak kunci keberhasilan pengendalian harga minyak goreng di pasar domestik adalah dengan mengurangi ekspor CPO.
Cara merumuskan kebijakan yang dilakukan pemerintah mengenai stabilisasi harga adalah merumuskan kebijakan secara dadakan atau reaktif. Tidak ada persiapan dan desain jangka panjangnya. Dalam keadaan yang seperti itu bisa menimbulkan kekacaubalauan dan ini bisa mengurangi respek investor kepada kemampuan pemerintah merumuskan kebijakan yang bersahabat kepada investor. Pemerintah harus mendidik masyarakat untuk mengharagai adanya kelangkaan dan para produsen dan konsumen menyesuaikan dengan keadaan itu, tanpa ada campur tangan pemerintah yang reaktif dengan stabilisasi harga. Dengan demikian, akan ada alokasi sumberdaya yang lebih efisien dan efektif pada masa-masa yang akan datang. Dan dengan demikian pertumbuhan pertanian kita akan menjadi lebih besar. Dan jika pertumbuhan pertanian kita lebih besar akan menyumbang pada pertumbuhan perekonomian nasional. akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Tapi dengan adanya kebijakan yang reaktif ini akan menghilangkan sumua potensi pertumbuhan dan pemerataan yang datang dari pengembangan sawit ini. Jika pemerintah menerapkan pajak ekspor tambahan itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Dan kita harus tahu bahwa investasi untuk sawit bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Jika pemerintah bisa buat begitu untuk sawit tentunya juga bisa membuat hal yang sama untuk yang lain. Hal ini akan menghambat investasi. Investasi yang paling cepat dan menarik saat ini adalah investasi yang berbasis agribinis. Bila kebijakan agribisnisnya seperti ini maka tidak akan berkembang agribisnis kita. Kebijakan ini gambaran kesewenang-wenangan pemerintah terhadap petani kelapa sawit dan pengusaha CPO dan minyak goreng.

KESIMPULAN
1. Seharusnya tanggung jawab stabilisasi harga itu peranan pemerintah. Mungkin mereka mau punya citra yang baik, tetapi di situ sudah ada kekacauan mengenai tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dengan dunia usaha. Sebenarnya kenapa harga minyak goreng naik? Naiknya harga minyak goreng sebagai akibat naiknya harga CPO. Dan harga CPO naik tidak hanya di dalam negeri tetapi pasar internasional.
2. Melihat kondisi tersebut, pemerintah perlu terus mengawasi gejolak harga minyak goreng dan volume pasokan CPO di lapangan pasca kenaikan Pajak Ekspor. Sebab, dari implikasi kebijakan pemerintah menaikkan pajak ekspor CPO tersebut, jangan sampai berdampak negatif terhadap petani sawit. Bukan tidak mungkin, pengusaha CPO membebankan kenaikan Pajak Ekspor kepada petani sawit. Sebenarnya ini menjadi kekhawatiran banyak pihak khususnya petani sawit.
3. Investor perlu dirangsang menamkan modalnya di sektor hulu dan hilir lewat penghapusan Pajak ekspor CPO dan produk turunannya serta mereduksi beragam biaya siluman lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. 2007. Tantangan filosofis-teknis subsidi minyak goreng. Laporan 014.asp-34k. www.bappebti.go.id.

DPR terkini. 2007. Pemerintah Dituntut Turunkan Harga Migor Dalam Negeri. September. www.wordpress.com

Iskandar, Dadang. 2007. Gejolak Minyak Goreng. Harian Pikiran Rakyat Bandung. Edisi Juni 21.www.pikiran rakyat.com

Oktaviani, R. 2007. Kenaikan Pajak Ekspor Cpo Jangan Rugikan Petani Sawit. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Edisi Juli. www. Woed press.com

Rainer, Adam. 2007. Kebijakan Pertanian – resep Achilles bagi pemerintahan SBY?. Artikel edisi Oktober (27). www.Forum Politisi. orgForum

Sibuea, Posman. 2007. Minyak Goreng Menjadi Komoditas Politik. Edisi Agustus.www. sinar harapan.co.id

Saragih, Bungaran. 2007. Reaksi terhadap Harga Sawit Edisi Juni No. 56. www. Word press.com