Rabu, 20 Juli 2011

KUALITAS AIR SUNGAI KABUPATEN KEPAHYANG”


Oleh : DESI SINARTI
Mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Fakultas Petanian
Universitas Bengkulu

I.1. Latar Belakang
Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator kemajuan suatu masyarakat. Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, dan kehidupan sosial budaya. Faktor yang penting dan dominan dalam penentuan derajat kesehatan masyarakat adalah keadaan lingkungan. Salah satu komponen lingkungan yang mempunyai peranan cukup besar dalam kehidupan adalah air (Kusnaedi, 2004
Masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air di Indonesia meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik dan kegiatan lain berdampak negatif terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan berbahaya bagi semua makhluk hidup yang tergantung pada sumber daya air. Sumber daya alam yaitu air, dapat diperoleh dari air permukaan meliputi air sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainya (Effendi, 2003).
Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan sungai yang utama adalah untuk pengairan lahan pertanian dan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan berbagai industri, maka pencemaran air sungai telah menjadi masalah serius yang dihadapi oleh manusia. Meskipun udara, tanah, dan air tidak terlepas dari masalah pencemaran, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan yang paling terancam dewasa ini adalah lingkungan perairan terutama sungai karena air sungai merupakan kebutuhan utama industri dan rumah tangga, dan pada akhirnya sebagian besar air yang telah digunakan oleh industri dan rumah tangga akan dilepaskan ke lingkungan bersama-sama dengan berbagai jenis polutan yang terkandung didalamnya (Putra, 2008)
Kabupaten Kepahiang, merupakan salah satu Kabupaten dengan kondisi sungai yang pada saat ini masih cukup baik dan potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber perekonomian daerah. Akan tetapi, ada kecendrungan debit air tersebut mengalami fluktuasi dan kualitas airnya semakin menurun disebabkan antara lain oleh tekanan jumlah penduduk yang semakin meningkat, kerusakan hutan dan lahan, peningkatan kebutuhan air bersih, dan pencemaran air (BLH Kabupaten Kepahiang, 2009). Peningakatan jumlah penduduk Kabupaten Kepahiang dari tahun 2007 mencapai 0,08% hingga tahun 2008, dengan jumlah penduduk Kabupaten Kepahiang adalah berjumlah 117.916 jiwa dengan 30.260 rumah tangga (Pemkab Kepahiang, 2009). Hal ini berarti juga akan terjadi peningkatan kebutuhan akan air.
Selain kuantitas, kualitas air sungai di Kabupaten Kepahiang cenderung mengalami penurunan karena pencemaran limbah domesti dan aktivitas pertanian dan limbah pertanian irigasi. Akibatnya air bersih terbatas. Beban limbah yang paling besar masuk ke badan sungai adalah limbah rumah tangga dan limbah pertanian, sedangkan limbah industri relatif kecil. Industr yang membuang limbahnya ke sungai adalah industri skala rumah tangga. Dengan adanya penurunan kuantitas dan kualitas air sungai tersebut, maka Pemerintah melakukan pemantauan kualitas air yang ada di Kabupaten Kepahiang. Sehingga diharapkan dapat dilakukan penyeamatan sumber daya air.
Dalam makalah ini dikemukakan beberapa hal tentang air yang mencakup pengenalan sungai Kabupaten Kepahiang, kondisi fisik sungai di Kabupaten Kepahiang, pencemaran air dan indikator pencemaran air, kualitas dan kuantitas air, pembangunan di beberapa sektor dalam upaya mempertahankan sumber daya air, dan pengelolaan serta respon permasalahan sumber daya air.

II. DAERAH ALIARAN SUNGAI
KABUPATEN KEPAHIANG

II.1. Mengenal Sungai Kabupaten Kepahiang
Sungai – sungai yang menjadi target pelestarian dan diprioritaskan untuk dikeola di Kabupaten Kepahiang terdiri dari Sungai Musi, Sungai Sempiang, Sungai Langkap, Sungai Durian, dan Sungai Dusun Dangkal. Sungai-sungai tersebut diprioritaskan karena melewati jantung kota Kabupaten Kepahiang. Dari kelima sungai tersebut, sungai Musi mendapat prioritas utama, hal ini dikarenakan Sungai Musi merupakan salah satu DAS yang dimanfaatkan sebagai energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Kepahiang. Sungai tersebut merupakan salah satu faktor sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kepahiang,
II.2. Kondisi Fisik Sungai Kabupaten Kepahiang
Air merupakan sumberdaya yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Kepahiang. Keberadaan air di muka bumi ini terbatas menurut ruang dan waktu baik secara kuantitas maupun kualitas. Air tidak selalu tersedia di mana-mana dan dari waktu ke waktu. Air sebagai penopang pembangunan dewasa ini (bahkan sudah dirasakan sejak lama) semakin terancam keberadaannya, baik dan segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal tersebut sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia yang kurang arif terhadap lingkungan sehingga berpengaruh terhadap sumberdaya air, bahkan akhirnya berdampak negatif terhadap manusia sendiri.
Kondisi lingkungan air yang terdapat di Kabupaten Kepahiang saat ini termasuk dalam golongan air yang tercemar ringan dan sebagian besar masih sesuai dengan taraf kualitas air kelas I dan II sesuai dengan Peratuaran daerah Proponsi Bengkulu No. 6 Tahun 2005. Beberapa parameter kualitas air kelas I dan II adalah TDS dan DO dihampir seluruh sungai, parameter TDS dan DO berhubungan satu dan lain. Air yang mengandung TDS yang tinggi kurang cocok dgunakan untuk kegiatan budidaya perikanan.
II.3. Pencemaran air dan indikatornya
Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia (Anonim, 2008). Pengertian pencemaran air juga didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan hidup yang didefenisikan dalam Undang-Undang tentang lingkungan hidup yaitu UU No. 23/1997. Dalam PP No. 20/1990 tentang pengendalian pencemaran air, pencemaran air didefenisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Hendra, 2001). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Setiawan, 2001). Walaupun fenomena alam seperti gunung berapi, badai, gempa bumi juga mengakibatkan perubahan yang besar terhadap kualitas air, hal ini tidak dianggap sebagai pencemaran. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Meningkatnya kandungan nutrien dapat mengarah pada eutrofikasi (Anonim, 2008).
Menurut Wardana (1995), indikator bahwa air lingkungan telah tercemar adalah ditandai dengan adanya perubahan atau tanda-tanda yang dapat diamati melalui : (1) Adanya perubahan suhu air, (2) Adanya perubahan nilai pH atau konsentrasi ion hidrogen, (3) Adanya perubahan warna, bau dan rasa air, (4) Timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut, (5) Adanya mikroorganisme, dan (6) Meningkatnya radioaktifitas air lingkungan.
Metode pemantauan kualitas air yang telah ada dapat digunakan untuk menentukan kualitas air, apakah air bersifat tidak tercemar, tercemar ringan, tercemar sedang atau tercemar berat. Diantaranya adalah metode fisik kimia, di mana metode ini merupakan penentuan kualitas air yang didasarkan pada Dissolved Oxygent (DO), Biologycal Oxygent Demand (BOD), Chemical Oxygent Demand (COD) dan sebagainya. Selanjutnya pemantauan kualitas lingkungan dapat menggunakan indeks diversitas dengan menggunakan kumpulan data makroinvertebrata bentos. Masuknya bahan pencemar ke dalam air permukaan merubah struktur komunitas organisme yang hidup di dalamnya (Warlina, 2004).
Indikator atau tanda bahwa air pada lingkunagn telah tercemar menurut Anonim (2008) terdiri dari tiga jenis, yaitu sumber pencemar yang berasal dari sumber fisik, sumber kimia dan sumber biologis. Sumber fisik berasal dari kegiatan rumah tangga, pasar jalan dan lain-lain yang biasanya membuang sampah disembarang tempat. Sumber kimia berasal dari kegiatan-kegiatan industri yang membuang limbah industrinya yang mengandung bahan-bahan kimia tanpa pengolahan lebih lanjut, atau sudah diolah tetapi buangannya tidak sesuai dengan Baku Mutu Air Limbah yang ditetapkan Pemerintah. Sedangkan sumber biologis berasal dari adanya kehidupan mikroba (jasad renik, mikroorganisme) seperti bakteri, fungi dan algae. Adanya kehidupan mikroba tersebut di dalam air, banyak menimbulkan kerugian, walaupun juga banyak mempunyai manfaat dan keuntungan.
Sungai merupakan badan air mengalir (flowing water atau lentik). Lebih kurang 69% air sungai ini berasal dari ratusan air tanah (base flow) dan sisanya berasal dari hujan yang mengalir sebagai aliran permukaan (surface run off) (Harjadi, 2002). Pada umumnya air sungai Kabupaten Kepahiang airnya tidak berwarna dan tidak berbau. Kondisi kritis sungai dapat dinilai dari parameter kuantitas (debit) alirannya dan kulaitas airnya. Hasil pemantauan oleh BLH kabupaten Kepahiang (2009), dengan pengukuran beberapa variabel debit aliran meliputi kecepatan aliran dan luas penampang sungai, serta dilakukan pengambilan sampel air untuk analisis variabel utama. Parameter pengukuran kualitas air di Kabupaten Kepahiang terdiri dari suhu air, pH, BOD, COD, serta beberapa parameter dari unsur logam berat.
II.4. KUANTITAS AIR
Dari data yang berhasil diperoleh dari BLH Kabupaten Kepahiang (2009), dapat dilihat bahwa potensi air di Kabupatn Kepahiang masih cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari tingginya rata-rata curah hujan di Kabupaten Kepahiang. Berdasarkan data curah hujan sepanjang tahun 2009 di Stasiun pencatat curah hujan, pada umumnya hujan terjadi sepanjang tahun dan rata-rata curah hujan mencapai 242,10 mm per tahun (Pemkab Kepahiang, 2009). Potensi sumber daya air yang besar tersbut mulai menunjukkkan gejala adanya penurunan, tetapi belum sampai menimbulkan persoalan kekurangan air.
Air hujan yang jatuh dan menjadi air permukaan memilki kadar bahan-bahan terlarut atau unsur hara yang sangat sedikit. Air hujan biasanya bersifat asam, dengan nilai pH sekitar 4,2. Hal ini disebabkan air hujan melarutkan gas-gas yang terdapat di atmosfer, seperti karbon dioksida (CO2), sulfur (S), nitrogen oksida (NO2) yang dapat membentuk asam lemah (Novotny dan Olem (1994) dikutip BLH Kabupaten Kepahiang (2009). Satelah jatuh ke permukaan bumi, air hujan mengalami kontak dengan tanah dan melarutkan bahan-bahan yang terkandung di dalam tanah. Oleh karena itu, kualitas air sungai ditentukan oleh kadar bahan-bahan terlarut dalam air hujan dan bahan-bahan organik dan mineral terlarut ketika air hujan masuk ke badan sungai berupa limpasan permukaan dan atusan air tanah.
Selain kuantitasnya, kualitas air sungai-sungai yang melewati wilayah pemukiman di Kabupaten Kepahiang telah mengalami penurunan karena pencemaran limbah domestik (rumah tangga), sampah dan limbah pertanian (berupa pupuk dan pestisida). Akibatnya air bersih dan layak pakai terbatas. Pemantauan kualitas air di sungai-sungai dalam wilayah Kabupaten Kepahiang hanya dilakukan satu kali dalam setahun yakni pada empat sungai masing-masing adalah Sungai Musi, Sengai Sempiang, Sungai Langka, dan Sungai Durian serta pemantauan kualitas air sumur dangkal pada empat lokasi berbeda. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang merencanakan akan melakukan pemantauan minimal empat kali setahun untuk sungai-sungai yang melewati pemukiman penduduk Kabupaten Kepahiang.
Beberapa parameter pengukuran kualitas air sungai yang telah dilakuakan oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang, yakni PH, oksigen biologi (BOD), Oksigen Kimia (COD), Oksigen terlarut (DO), Salinitas (kadar garam), dan parameter logam berat.
Tabel 1. Data hasil analisis parameter pengukuran kualitas air sungai dan air sumur dangkal di Kabupaten Kepahiang sebagai berikut :
No Nama Sungai pH BOD (mg/lt) COD (mg/lt) DO (mg/lt) Salinitas (mg/lt)
1. Sungai Musi Hulu 6.99 0.39 8.20 0.00 0.1
2. Sungai Musi Tengah 6.82 0.81 8.70 0.02 0.1
3. Sungai Musi Hilir 7.06 3.94 9.80 0.07 0.1
4. Sungai Langkap Hulu 7.05 1.98 39.72 0.00 0.0
5. Sungai Langkap Tengah 7.10 2.01 56.14 0.01 0.0
6. Sungai Langkap Hilir 7.09 2.26 48.13 0.01 0.0
7. Sungai Sempiang Hulu 6.74 2.36 29.35 0.00 0.1
8. Sungai Sempiang Tengah 7.02 3.85 22.92 0.00 0.1
9. Sungai Sempiang Hilir 7.01 3.27 33.58 0.21 0.1
10. Sungai Durian Hulu 7.05 2.55 11.35 0.00 0.1
11. Sungai Durian Tengah 7.11 2.14 15.88 0.00 0.1
12. Sungai Durian Hilir 7.17 2.43 30.81 0.21 0.1
13. Sumur Dangkal Ds. Suro Hilir 6.72 0.85 12.32 0.98 0.0
14. Sumur Dangkal Ds. Pelangkian 6.89 0.96 19.11 1.03 0.0
15. Sumur Dangkal Ds. Tebat Monok 7.01 1.22 15.87 1.28 0.0
Tabel 2. Baku mutu kualitas air sungai dan sumur dangkal Kabupaten Kepahiang
No Parameter Satuan Kelas
I II III IV
1. pH - 6-9 6-9 6-9 6-9
2. BOD Mg/lt 2 3 6 12
3. COD Mg/lt 10 25 50 100
4. DO Mg/lt 6 4 3 0
a. Parameter pH (derajat keasamaan) air
pH merupakan suatu ekpresi dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam air. Besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H (Rosmarkam dan Nasih, 2002). Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5 – 7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH di bawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH di atas pH normal bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik (Warlina, 2004).
Berdasarkan hasil pemantauan pada keempat sungai dan empat sumur dangkal di Kabupaten Kepahiang, sebagian besar pH airnya masih memenuhi kriteria baku mutu air kelas I dan II dengan kisaran nilai pH 6 – 9 (Perda Nomor 6 Tahun 2005). Dari empat titik sampling (hulu, tengah dan hilir) pada sungai yang melintasi pemkiman penduduk dalam wilayah Kabupaten Kepahiang, nilai pH tertinggi diperoleh pada Sungai Durian bagian hilir dan terendah terdapat pada sumur dangkal Desa Suro Hilir. Hasil pengukuran pH sampel air sungai dan sumur dangkal, memperlihatkan bahwa pH air sungai yang diukur masih dalam kondisi baik.
Dengan kisaran pH air sungai 6 – 8 menunjukkan bahwa, sungai yang terdapat di Kabupaten Kepahiang masih alamiah, dan diindikasikan bahwa kualitas air hujan di wilayah ini masih alamiah artinya belum ada pencemaran udara.
b. Parameter Oksigen Biologi (BOD)
Dekomposisi bahan organic terdiri atas 2 tahap, yaitu terurainya bahan organik menjadi anorganik dan bahan anorganik yang tidak stabil berubah menjadi bahan anorganik yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit atau nitrat (nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama yang berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai zat pengganggu. Dengan demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air. Pada dasarnya, proses oksidasi bahan organik berlangsung cukup lama (Warlina, 2004).
Parameter kebutuhan oksigen biologi (BOD) merupakan parameter yang selalu digunakan untuk menentukan kualitas air. Parameter organik (sebagai BOD dan COD) adalah parameter umum yang sering dipakai untuk menunjukkan tingkat pencemaran organik dari suatu sumber pencemar seperti industri, domestik, lahan pertanian dan perikanan. Sedangkan parameter oksigen terlarut adalah parameter umum yang digunakan untuk menunjukkan tngkat kesegaran air sebagai akibat dari pencemaran air oleh parameter organik.

Parameter BOD yang telah diukur pada empat sungai dan titik-titik sumur dangkal Kabupaten Kepahiang sebagian sudah melampaui criteria baku mutu air klas I dan II Perda nomor 6 Tahun 2005. Nilai BOD tertinggi terdapat pada Sungai Musi bagian hilir dan terendah pada Sungai Musi Bagian Hulu.
Parameter kebutuhan oksigen biologi biasanya yang digunakan pada analisanya adalah BOD-5 antara 0,5 – 7,0 mg/lt (Jeffries dan Mills (1996) dikutip BLH Kabupaten Kepahiang (2009)). Perairan yang memiliki BOD lebih dari 10 mg/lt dianggap telah mengalami pencemaran. Hasil pengukuran parameter BOD di keempat sungai yang melewati wilayah Kabupaten Kepahiang menunjukkan bahwa dari keseluruhan sapel yang diambil, nilai BOD airnya banyak yang memenuhi criteria baku mutu air kelas I dan II. Kisaran nilai BOD ini lebih besar atau sama dengan 2 mg/ltd an 3 mg/lt (Perda Nomor 6 Tahun 2005). Dengan hasil yang diperoleh tersebut, diduga bahwa sungai-sungai di Kabupaten Kepahiang telah tercemar ringan dan kurang baik untuk bahan baku air minum dan usaha perikanan.
c. Parameter Oksigen Kimia (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumlah ion chrom. Reaksinya sebagai berikut :
HaHbOc + Cr2O72- + H + → CO2 + H2O + Cr3+
Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dan sebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD daripada BOD (Warlina, 2004).
Dari hasil pengukuran COD yang diperoleh dari empat sungai dan sumur dangkal yang ada di Kabupaten Kepahiang memperlihatkan bahwa nilai COD sungai-sungai dan sumur dangkal tersebut memiliki nilai COD yang sebagian melebihi criteria buku mutu air kelas I dan II Perda Nomor 6 Tahun 2005. Nilai COD yang tertinggi diperoleh pada Sungai Langkap bagian tengah dan terendah terdeteksi pada Sungai Musi bagian hulu.
Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan parameter utama yang selalu digunakan untuk menentukan kualitas lingkungan. Hasil pemantauan dari empat sungai yang diukur menunjukkan bahwa sungai-sungai di Kabupaten Kepahiang sudah tercemar ringan. Dari data hasil pengukuran yang diperoleh, terjadi kenaikan nilai COD. Kenaikan COD ini mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan pencemaran yang disebabkan oleh limbah pertanian dan organik. Parameter COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mngoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sulit didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O. Perairan yang memiliki COD tinggi tidak baik digunakan dibidang pertanian dan perikanan.
Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/lt, sedangkan perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/lt (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dikutip BLH Kabupaten Kepahiang, 2009). Hasil analisis parameter yang diperoleh BLH Kabupaten Kepahiang COD di sungai-sungai yang melewati wilayah kota dan desa di Kabupaten Kepahiang menunjukkan bahwa sebagian besar tidak memenuhi kriteria baku mutu air kelas I dengan kisaran nilai COD lebih besar dari 10 mg/lt.
d. Parameter Oksigen Terlarut
Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organik dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir. Berdasarkan data-data temperatur dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 25o C dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, (1985) dikutip Warlina (2004)).

Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah cukup banyak. Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Keberadaan logam berta yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi sistem respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita (Tebbut, 1992 dikutip Effendi, 2003).
Berdasarkan data hasil analisis oleh BLH Kabupaten Kepahiang (2009), dari beberapa titik sampel pengamatan (hulu, tengah dan hilir) pada sungai yang melintasi pemukiman penduduk wilayah Kabupaten Kepahiang, nilai DO-nya masuk kriteria baku mutu air kelas IV. Nilai DO tertinggi terdapat pada Sungai Langkap Hilir dan Sungai Durian Hilir, sedangkan untuk sumur dangkal tertinggi terdapat pada sumur dangkal Desa Tebat Monok.
e. Salinitas (kadar garam)
Alkalinitas secara umum menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir kemasamaan dalam air. Secara khusus, alkalinitas sering disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas pem-bufffer-an dari ion bikarbonat, dan sampai tahap tertentu ion karbonat dan hidroksida dalam air. Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion hidrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikan pH. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium karbonat (CaCO3). Air dengan kandungan kalsium karbonat lebih dari 100 ppm disebut sebagai alkalin, sedangkan air dengan kandungan kurang dari 100 ppm disebut sebagai lunak atau tingkat alkalinitas sedang (Anonim, 2003).
Hasil analisa dari empat sungai dan sumur dangkal di Kabupaten Kepahiang menunjukkan kadar salinitasnya masih tergolong kecil. Hal ini menunjukkan bahwa sungai di Kabupaten Kepahiang masih masuk dalam katagori sungai alami. Data pada tabel 1 menunjukkan salinitas pada masing-masing sungai atau sumur masih berkisar antara 0.0 mg/lt sampai dengan 0.1 mg/lt.


f. Parameter logam berat
Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia berikut ini : pH netral, tidak mengandung bahan kimia beracun, tidak mengandung ion-ion logam, kesadahan rendah, dan tidak Mengandung bahan organik. Parameter logam berat yang menyebabkan pencemaran air sehngga kualitas air menjadi tidak baik diakibatkan air mengandung garam atau ion logam seperti Fe, Mg, Ca, K, Hg, Zn, Mn, Cl, Cr, dan lain-lain (Hartanto, 2007).
Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia untuk membantu kinerja metabolism tubuh. Akan tetapi, dapat bersifat racun jika konsentrasi dalam tubuh berlebih. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan system bioakumulasi, yaitu penngkatan konsentrasi unsure kimia didalam tubuh mahluk hidup (BLH Kabupaten Kepahiang, 2009).
Berdasarkan hasil analisis parameter logam berat yang diperoleh BLH Kabupaten Kepahiang secara umum pencemaran yang diakibatkan oleh logam berat seperti Timbal (Pb), Cadmium (Cd), dan Tembaga (Cu) tergolong sungai kelas I. Sedangkan Seng (Zn) termasuk sungai tidak masuk sungai kelas I dan II dan sudah termasuk tercemar ringan.
II.5. UPAYA PENANGGULANGAN PENCEMARAN AIR
Pengendalian/penanggulangan pencemaran air di Indonesia telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air. Secara umum hal ini meliputi pencemaran air baik oleh instansi ataupun non-instansi (Warlina, 2004).
Menurut Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang (2009), ada beberapa penyebab adanya pencemaran air di Kabupaten Kepahiang, diantaranya : pembangunan di bidang pariwisata, pembangunan bidang infrastruktur, pembangunan bidang industri, pembangunan bidang pertambangan dan kebutuhan masyarakat akan air. Dari bidang pembangunan ini yang paling besar pengaruhnya terhadap penccemaran air sangat tergantung pada kuantitas, toksisitas, zat-zat kimia yang digunakan pada proses pengolahan dan hasil dari proses degradasi limbah yang dihasilkannya.
Kepahiang sebagai Kabupaten pemekaran, kecendrungan pertumbuhan penduduk dan aktivitas pembangunan pada berbagai sector kehidupan mengalami peningkatan. Hal tersebut diatas berakibat pada beban pencemaran terhadap sumber air akan semakin besar.
Pada prinsipnya ada 2 (dua) usaha untuk menanggulangi pencemaran, yaitu penanggulangan secara non-teknis dan secara teknis. Penanggulangan secara non-teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi sehingga tidak terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini hendaknya dapat memberikan gambaran secara jelas tentang kegiatan industri yang akan dilaksanakan, misalnya meliputi AMDAL, pengaturan dan pengawasan kegiatan dan menanamkan perilaku disiplin. Sedangkan penanggulangan secara teknis bersumber pada perlakuan industri terhadap perlakuan buangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola limbah atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran (Fachmi, 2004).

III. PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Pencemaran air dapat berdampak pada kesehatan, keselamatan dan akhirnya berakibat pada pembangunan ekonomi. Bencana krisis air dapat merupakan ancaman bagi keberlangsungan generasi yang akan datang. Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, kondisi sumber air makin menurun dan berkembangnya berbagai sumber penyakit. Tingginya pencemaran air disebabkan limbah industri yang tidak diolah dahulu serta limbah rumah tangga pada pemukiman yang dibuang ke badan sungai.
Terbatasnya upaya pengendalian pencemaran air diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan serta kurangnya penegakan hukum bagi pelanggar pencemaran lingkungan. Diperlukan pendekatan yang komprehensif dan holistik bagi penanggulangan pencemaran air, agar dapat dipertahankan kualitas lingkungan yang baik. Pemerintah juga hendaknya mengeluarkan kebijakan yang pada dasarnya merangsang pengguna air untuk melakukan efisiensi dengan menganggap bahwa air merupakan sumberdaya yang terbatas.
III.2. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi bagi para pembaca dan dapat menjaga atau meningkatkan kualitas air untuk kesehatan masyaraka, atau bagi kita semu.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepahiang. 2009. Laporan Pemantauan Kualitas Air Kabupaten Kepahiang. BLH Kabupaten Kepahiang, Desember 2009.
Bapedalda Propinsi Bengkulu. 2008. Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup (Amdal, UKL-UPL, dan DPPL). Bengkulu 10 Juli 2008.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Fachmi, A.U. 2004. Peranan air dalam peningkatan kesehatan masyarakat. http://www.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200104/lap-perananair.pdf. Download 12 Maret 2010.
Harjadi, S.S. 2002. Pengantar Agronomi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hendra, S. 2001. Pengertian pencemaran air dari perspektif hukum. http://www.menlh.go.id/airnet/Artikel01.htm. Download 7 Maret 2010.
Irianto, E. I., dan Badruddin, M. 2003. Fenomena hubungan debit air dan kadar zat pencemar dalam air sungai (Studi kasus : Sub DPS Citarum Hulu). JLP (XXVII): 52, Tahun 2003.
Pemda Propinsi Bengkulu. 2005. Perda No.6 Tahun 2005: Penetapan Buku Mutu Air dan Kelas Air Sungai Lintas Kabupaten/Kota dalam Propinsi Bengkulu. Pemda Propinsi Bengkulu.
Pemerintah Kabupaten Kepahiang. 2009. Data Status Lingkungan Hidup daerah Kabupaten Kepahiang Tahun 2009. Kabupaten Kepahiang, Propinsi Bengkulu.
Rosmarkam, A., dan Nasih. W. Y. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta.
Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset Jogyakarta, Jogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar