Selasa, 12 Juli 2011

Kebijakan Pertanian, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Partisipasi Publik

Oleh : Yelviora

I. LATAR BELAKANG
Saat ini pertanian mempunyai dua peran sekaligus tantangan :
(i) mendukung pemenuhan pangan bagi lebih dari 210 juta penduduk,
(ii) memberikan lapangan kerja bagi 21,74 juta rumah tangga tani yang merupakan 58,37 % dari total rumah tangga Indonesia (Sensus Pertanian, 1993). Sebagai sektor yang menjadi tumpuan bagi ketahanan pangan dan mata pencaharian sebagian sebagian rakyat, maka pembangunan pertanian merupakan generator bagi pembangunan nasional.
Harus diakui bahwa sepanjang pembangunan pertanian yang kita alami, kebijakan dan program pembangunan pertanian masih mempunyai negative residual effect dimana
(i) kemiskinan terbesar berada pada kelompok masyarakat pertanian dan pedesaan
(ii) sumberdaya alam dan lingkungan yang terdegradasi
(iii) kelembagaan petani yang tergantung pada program dan proyek pemerintah
(iv) ketergantungan petani terhadap teknologi dan input eksternal yang tinggi dan
(v) kerentanan sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan.
Akan tetapi, kemauan untuk perumusan, perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pertanian tidak hanya disandarkan atas permasalahan dan dampak pembangunan pada masa sebelumnya, namun juga perlu mempertimbangkan perubahan perubahan sebagai tantangan yang harus kita hadapi. Para pelaku dalam pembangunan pertanian tidak bisa lagi berhenti dalam stagnasi pemikiran dengan mencoba mereplikasi keberhasilan pembangunan pertanian di masa lalu, namun harus mulai untuk mencari terobosan pemikiran alternatif dengan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada.




II. PEMBAHASAN

Makalah ini akan mengupas dua isu penting yang dapat digunakan sebagai landasan bagi perumusan dan implementasi kebijakan pertanian ke depan. Pertama, isu pengelolaan sumberdaya alam. Tidak bisa dipungkiri bahwa kelangsungan penghidupan masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana sumberdaya alam dan lingkungan dikelola. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya alam secara lestari akan memberikan fondasi yang kuat bagi terwujudnya ketahanan pangan dan livelihood outcomes lainnya. Kedua, isu partisipasi publik. Ketika “demokrasi” menjadi pilihan untuk membangun konsensus dalam menyelesaikan masalah, maka partisipasi publik merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihindari dalam proses perumusan, perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.
“Scholl of Thought” dalam Pembangunan Pertanian
Sebelum memulai pembahasan mengenai dua proposisi utama dalam makalah ini, agaknya patut untuk mengelaborasi aras pemikiran yang berkembang berkaitan dengan pembangunan pertanian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan referensi yang akan memperkaya pemikiran akan pilihan pilihan model pembangunan pertanian ke depan.
Pretty (1995) mencatat ada lima schooll of thought dalam pembangunan pertanian :
1. Optimist.
Pihak ini mempunyai cara pikir bahwa supply akan selalu bertemu dengan demand dan petumbuhan produksi pangan akan bisa mengatasi kebutuhan pangan penduduk. Seperti nampak pada penurunan harga pangan (50% pada dekade yang lalu), mengindikasikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas kebutuhan konsumsi. Produksi pangan diharapkan akan meningkat dengan dua alasan (i) perkembangan bioteknologi yang semakin semarak sehingga akan menggenjot produksi pangan (ii) masih ada kemungkinan untuk melakukan ekstensifikasi 20-40 % sampai 2020 (masih ada 79 juta Ha di Sub-Sahara Afrika). Ini juga bisa diartikan bahwa negara berkembang masih bisa mengandalkan impor pangan dari negara industri.
2. Environmental pessimist.
Pihak ini yang sering mengingatkan bahwa secara batas daya dukung ekologi, akan segera tercapai, sudah terlampai atau sudah sangat lewat. Dinyatakan bahwa tekanan populasi terlampau tinggi sementara yield produksi lambat, bahkan menurun. Tidak ada teknologi yang mampu mangatasi, karena daya dukung lingkungan memerlukan waktu untuk memperbaiki diri. Eksploitasi dengan teknologi sifatnya kesementaraan, dan pada masa datang daya dukung lingkungan akan semakin buruk.
3. Industrialized world to the Rescue.
Kelompok pemikiran ini percaya bahwa negara dunia ketiga tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan pangannya, atas alasan ekologi, institusi dan infrastruktur dan untuk semua itu selalu ada gap yang bisa diisi oleh pertanian modern di negara Utara. Peningkatan produksi bisa dipacu dengan mekanisasi, petani kecil dan marginal bisa dikurangi jumlahnya sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam bisa dikurangi. Sebagai kompensasinya area yang diproteksi dan dikonservasi akan semakin besar. Produsen pangan besar akan memainkan peran dalam perdagangan pangan kepada siapa yang membutuhkan, sementara itu bantuan pangan disiapkan dan sistribusikan bagi masyarakat miskin
4. New Modernists.
Pemikiran dari kelompok ini menyatakan bahwa yield produksi masih dapat ditingkatkan pada luasan lahan yang ada dan pertumbuhan produksi pangan hanya dapat diperoleh dari input luar yang tinggi. Targetnya adalah untuk mempertahankan keberhasilan Revolusi Hijau. Lahan yang ada masih potensial karena belum dimaksimalkan pengelolaannya. Petani masih menggunakan terlalu sedikit pupuk dan pestisida, karena hanya dengan jalan inilah bisa meningkatkan produksi dan mengurangi tekanan terhadap konversi habitat alami. Pengulangan model Revolusi Hijau ini sering disebut sebagai science based agriculture, tujuannya untuk peningkatan penggunaan input pupuk dan pestisida. Paham ini juga berargumen bahwa dengan penggunaan input tinggi malah lebih berwawasan lingkungan dibanding input rendah, sebagaimana input rendah hanya akan menghasilkan output yang rendah juga.
5. Sustainable Intensification.
Paham ini menyatakan bahwa pertumbuhan produksi secara substansial mungkin dicapai pada potensi lahan yang ada sekarang bahkan yang sudah terdegradasi daya dukungnya, dengan syarat pada saat yang sama memproteksi dan meregenerasi sumberdaya alam. Argumen ini menyatakan bahwa input yang rendah (tidak harus input nol) dapat meningkatkan produktifitas dan menyediakan kesempatan bagi petani untuk mengembangkan teknologi. Paham ini juga menyarankan agar lahan pertanian, baik yang kritis maupun potensial, lebih banyak difungsikan dengan kapasitas dan potensi manusia, melalui proses proses biologi dan proses fisik. Pertanian yang berkelanjutan merupakan integrasi dari pengendalian hama, pengelolaan nutrient, pengelolaan tanah dan air serta pengembangan teknologi praktis.
Kelima varian pemikiran dalam pembangunan pertanian dalam konteks global bekerja melalui berbagai institusi dan pelaku pertanian di dunia. Hal tersebut termanifestasi dalam kepentingan agen agen pembangunan baik skala nasional maupun global, baik sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil. Aras pemikiran yang bekerja menentukan bagaimana cara pandang terhadap pengelolaan sumberdaya alam, dan pada akhirnya menentukan orientasi kebijakan pertanian yang dibangun.
Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA) dan Pertanian Berkelanjutan
Dalam konteks ekologi ekosistem, ekosistem pertanian atau agroekosistem merupakan ekosistem artifisial atau buatan, untuk membedakan dengan ekosistem alami. Dengan demikian ada peran manusia yang mengelola sumberdaya alam yang ada dalam ekosistem untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Keberlanjutan pemenuhan kebutuhan tersebut ditentukan oleh daya dukung sumber daya alam dan lingkungan serta pengelolaan sumberdaya alam itu sendiri.
Sepanjang perjalanan pembangunan pertanian yang kita lalui kita menemukan bahwa orientasi yang terlampau kuat peningkatan produksi dengan implikasi eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, telah menghasilkan pseudo success. Produktifitas lahan memang bisa dipacu dengan teknologi dan input luar yang tinggi namun pada satu batasan tertentu akan terjadi penurunan produksi dan berbagai “cost” lingkungan seperti degradasi kesuburan dan erosi tanah, pencemaran air, terganggunya keseimbangan ekologis yang mengakibatkan kerentanan terjadinya ledakan hama.
Pertambahan jumlah penduduk mencapai lebih dari 210 juta memang tidak bisa dipungkiri merupakan sebuah realitas yang tidak terbantahkan. Artinya, bahwa produksi pangan bukan lagi sekedar peningkatan produksi (growth of production) namun juga persoalan (sustainable of production) (Adiwibowo, 2000). Untuk itu maka pengelolaan sumberdaya secara lestari merupakan kunci bagi keberlangsungan produksi pangan.
Beberapa hal yang patut dikembangkan sebagai landasan kebijakan pertanian terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah :
• Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati dalam pertanian atau agribiodiversity mencakup keragaman hewan, tanaman dan mikrorganisme yang berguna bagi pertanian. Agrobiodiversity memberikan kontribusi bagi kesehatatan agroekosistem dan resiliensi lingkungan terhadap perubahan. Agrobiodiversity memberikan kekayaan plasma nutfah tanaman sumber pangan, dan basis bagi diversifikasi pangan, kekayaan seranggga dan mikroorganisme yang berperan dalam proses fisik dan biologis dalam pertanian, kekayaan sumber sumber gizi dan berbagai tanaman obat obatan dan lain lain. Konservasi agrobiodiversity merupakan dasar bagi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dalam pertanian.
• Indonesia terbagi atas kawasan kawasan yang mempunyai potensi biologis dan karakter fisiko kimia serta sumberdaya alam yang berbeda dan khas (bioregion). Masing masing bioregion jawa, sumatra, kalimantan, papua dan seterusnya, dapat dipandang menurut landskap ekosistem yang memiliki potensi, karakter dan sejarah evolusi kehidupan yang unik. Dalam demikian memiliki sejarah pengelolaan sumberdaya alam yang kaya akan konsepsi dan praktek genuine dalam masyarakat.
• Indonesia memiliki ragam masyarakat lokal yang kaya akan pengetahuan tradisional (indegenous knowledge) serta kekayaan nilai dan falsafah pengelolaan sumberdaya alam, dimana telah terbukti sepanjang ratusan tahun mampu mengatasi berbagai persoalan ekonomi, sosial, budaya dan ekologi dalam kehidupan masyarakat lokal.
Dengan potensi tersebut maka pembangunan pertanian harus diletakkan dalam konteks pembangunan kawasan. Pembangunan pertanian harus memperhatikan potensi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya kawasan. Pembangunan pertanian harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara terintegratif, dengan memanfatkan multifungsi dari agrobiodiversity untuk dikelola secara berkelanjutan.
Konsepsi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan sebuah sebuah konsepsi tentang pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap mempertahankan lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam (resources management which satisfies human needs while maintaining the quality of the environment and conserving natural resources) (Triwidodo,1998).
Sistem pertanian berkelanjutan mempunyai sifat :
1. Secara ekonomi menguntungkan dan dapat dipertanggung jawabkan (economically viable). Petani mampu menghasilkan keuntungan dalam tingkat produksi yang cukup dan stabil, pada tingkat resiko yang bisa ditolerir/diterima.
2. Berwawasan ekologis (ecologically sound). Kualitas agroekosistem dipelihara atau ditingkatkan, dengan menjaga keseimbangan ekologi serta konservasi keanekaragaman hayati. Sistem pertanian yang berwawasan ekologi adalah sistem yang sehat dan mempunya ketahanan yang tinggi terhadap tekanan dan gangguan (stress dan shock)
3. Berkeadilan sosial (social just). Sistem pertanian yang menjamin terjadinya keadilan dalam akses dan kontrol terhadap lahan, modal, informasi dan pasar bagi yang terlibat tanpa membedakan status sosial-ekonomi, gender, agama atau kelompok etnis.
4. Manusiawi (humane) dan menghargai budaya lokal. Menghormati eksistensi dan memperlakukan dengan bijak semua jenis mahluk yang ada. Dalam pengembangan pertanian tidak melepaskan diri dari konteks budaya lokal dan menghargai tatanan nilai, spirit dan pengetahuan lokal
5. Mampu berdaptasi (adaptable). Mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi yang selalu berubah, seperti pertumbuhan populasi, tantangan kebijaksanaan yang baru dan perubahan konstalasi pasar.
Dengan ciri normatif tersebut seringkali pertanian berkelanjutan diragukan apakah akan ada sistem pertanian yang mampu memenuhi standart dan atribut tersebut. Dalam prakteknya ciri normatif tersebut dimanifestasikan dalam bentuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA).
Dalam pandangan LEISA, maka pertanian merupakan kombinasi terbaik dari pengelolaan sumberdaya alam dan penyediaan input fungsional. Hal ini dilakukan dengan integrasikan proses dan regenerasi alam, seperti siklus nutrien, fiksasi nitrogen, regenerasi tanah, dan musuh alami dari hama pada proses produksi. Dengan demikian maka akan menurunkan penggunaan input yang tidak bisa diperbaharui (pupuk dan pestisida kimia) yang merusak lingkungan dan bahaya bagi kesehatan dan konsumen.
Pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah akan menekankan penggunaan pengetahuan dan ketrampilan petani dan meningkatkan keswadayaan, sehingga akan membuat produktif modal sosial dan kapasitas manusia untuk bekerja sama dan memecahkan masalah bersama seperti pestisida, gulma, irigasi, hutan dan manajemen kredit. Keberlanjutan teknologi pertanian dan prakteknya harus benar benar diadopsi dari lokal. Mereka akan tumbuh dari konfigurasi modal sosial (hubungan kepercayaan pada organisasi sosial yang baru, baik hubungan vertikal maupun horisontal) serta modal manusia seperti kepemimpinan, pengetahuan, ketrampilan management, kapasitas utuk menguji dan inovasi). Sistem pertanian dengan biaya sosial dan kemanusiaan yang tinggi akan mampu untuk melakukan inovasi dan menguragi ketidakpastian dan memberikan kelentingan dalam merespon perubahan.
Pertanian berkelanjutan secara bersama akan memproduksi pangan dan bahan pangan yang lain untuk keluarga tani namun juga akan memberikan kontribusi untuk skala publik seperti pakaian bersih, kehidupan langka, pengelolaan karbon dalam tanah, pencegahan banjir dan kualitas land scape. Pendekatan tersebut juga akan menghasilkan fungsi pangan yang unik yang tidak dapat diproduksi sektor lain seperti keanekaragaman hayati pada lahan, pengaktifan air tanah, reurbanisasi ke desa dan kohesivitas sosial.
Secara umum prinsip LEISA adalah meniru alam, mengupayakan keanekaragaman hayati, memperbaiki kualitas tanah dan air serta pola aliran siklik dalam pengelolaan nitrient. Inovasi praktek dan pendekatan LEISA telah banyak dikembangkan. Tantangannya adalah bagaimana menggunakan perangkat pemikiran tersebut untuk mengatasi persoalan pertanian di Indonesia.Kebijakan pertanian sebagai instrumen dalam pembangunan pertanian seharusnya dilandaskan atas upaya untuk memenuhi kebutuhan penyelesaian persoalan pangan dengan tetap memperhitungkan keberlanjutan dari proses itu sendiri. Sebagai sebuah pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam LEISA patut untuk mendapatkan perhatian sebagai salah satu alternatif atas mind-set pemikiran dominan yang terbentuk atas keberhasilan swa-sembada beras pada masa lampau.
Kebijakan Pertanian dan Partisipasi Publik
Selain perhatian terhadap substansi, proses juga merupakan faktor yang penting. Isu partisipasi adalah upaya untuk memperbesar ruang publik dalam perumusan dan implementasi kebijakan pertanian. Keterlibatan publik (public involvement) merupakan sebuah kebutuhan jika para pelaku dalam bidang pertanian menyadari pergeseran paradigma dari programed governance menuju shared governence. Dari pemerintah yang menentukan menuju pemerintahan yang berbagi, dari kebijakan pemerintah menuju kebijakan publik.
Sepanjang sejarah panjang pembangunan pertanian dominasi peran pemerintah sangat kuat dalam menentukan arah dan strategi kebijakan pertanian. Kritik terhadap sentralisasi kebijakan pertanian telah berlangsung lama dan tidak akan dikupas terlampau banyak dalam makalah ini. Makalah ini mencoba untuk membawa diskusi kepada perspektif partisipasi dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan. Istilah partisipasi merupakan istilah umum bagi hampir sebagian besar agen pembangunan. Selalu nampak menarik, jika istilah partisipatif ditempelkan dalam bagi kerja kerja pengembangan masyarakat, atau pembangunan pada umumnya. Ada kesan bahwa dengan label partisipasi akan mampu menampilkan kesan seolah olah sebuah kegiatan memiliki legitimasi kuat dari publik .
Penerapan partisipasi dalam pembangunan pertanian telah berlangsung sejak lama, dan telah menjadi kata kunci bagi berbagai agen pembangunan baik nasional maupun internasional, dimana mempunyai makna pelibatan masyarakat pada aspek perencanaan dan implementasi. Ada dua sudut pandang yang berkembang dalam memahami partisipasi. Pada satu sisi partisipasi dipahami sebagai dalam konteks peningkatan efisiensi, dimana keterlibatan masyarakat akan menjadi persetujuan dan dukungan bagi pembagunan atau layanan publik kepada masyarakat. Pada sudut pandang yang lain partisipasi dipahami sebagai hak fundamental bagi masyarakat untuk memobilisasi aksi kolektif, pemberdayaan dan pembangunan institusi (Pretty, 1995).
Saat ini, banyak sudi komparatif dari proyek pembangunan yang menunjukkan bahwa partisipasi adalah satu dari komponen penting untuk pembangunan. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan mobilisasi dari rasa memiliki stakeholders terhadap kebijakan dan proyek; peningkatan efisiensi ; pemahaman dan kohesi sosial; lebih cost-effective dalam pelayanan; transparansi dan akuntabilitas; peningkatan keberdayaan masyarakat miskin dan marginal; dan penguatan kapasitas manusia untuk belajar dan bertindak (Uphoff et al, 1998).
Dalam konteks pengambilan keputusan, partisipasi sering dikaitkan dengan proses deliberatif dan inklusif untuk keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan merupakan sebuah isu penting dalam wacana kebijakan baik negara utara maupun di negara berkembang. Hal ini semakin menampakkan relevansinya ketika demokrasi liberal yang banyak diadopsi oleh berbagai negara menampakkan sisi lemahnya.
Krisis legitimasi terhadap institusi pengambilan keputusan di mata rakyat marginal sudah banyak didokumentasikan. Pengalaman dari participatory research di 23 negara, yang ditulis sebagai “Consultation with the poor” untuk laporan kepada Bank Dunia, World Development Report 2001, menyimpulkan :
From the perspectives of the poor people world wide, there is a crisis in governance. While the range of institution that play important role in poor people’s lives is vast, poor people are excluded from participation in governance. State institutions, whether represented by central ministries or local government, are often neither responsive nor accountable to the poor ; rather this report details the arrogance and disdain with which poor people are treated. Poor people see little recourse to injustice, criminality, abuse and corruption by institution. Not surprisingly, poor men dan women lack confidence in the state institutions even though they still express their willingness to partner with them under fairer rules (Narayan et al,2000 dalam Pimbert dan Wakeford 2002)
Fakta tersebut mengakibatkan partisipasi yang didalamnya memiliki makna proses deliberatif dan inklusif mulai mendapat perhatian sebagai suplemen bagi sistem demokrasi perwakilan. Sepanjang seperempat abad sejumlah pendekatan dan metodologi partisipatif telah banyak digunakan seperti citizen jury, forum warga/rembug warga (neighbourhood forum), concensus conference, scenario workshops, pemetaan multi-kriteria, participatory rural appraisal (PRA) dan deliberatif polling (Pimbert and Wakeford, 2002). Metode tersebut telah digunakan dalam berbagai substasi dan ragam isu dan konteks permasalan. Organisasi masyarakat sipil banyak yang telah mempraktekkan metodologi partisipatif dalam aktivitas dan pergerakannya.
Organisasi masyarakat sipil, mulai banyak bergerak untuk melakukan peran advokasi, untuk menyuarakan aspirasi masyarakat marginal untuk bisa menjadi bagian dalam formulasi kebijakan pemerintah dan desain teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat serta pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan Proses deliberatif melalui penguatan dan perluasan partisipasi publik merupakan potensi untuk memperbaiki kualitas pengambilan keputusan, dan membuat formulasi dan implementasi kebijakan menjadi semakin legitimate, efektif, efisien dan berkelanjutan (Pimbert and Wakeford, 2002).
Dalam prakteknya partisipasi publik dengan proses deliberatif mulai banyak diimplementasikan. Bebererapa bentuknya adalah :
1. Di Porto Alegre, Brazil dikembangkan dalam bentuk participatory budgeting, dimana warga kota berpartisipasi langsung dalam penentuan anggaran pembangunan kota ;
2. Stakehoder Ecosystem Governance Under US Endagered Species Act., dimana stakeholder terlibat penyusunan ecosystem governance dimana mempunyai dua kegunaan untuk pemberdayaan sumberdaya manusia dan konservasi spesies langka.
3. Panchayat Reform di West Bengal, India dimana membangun saluran demokrasi langsung dan perwakilan untuk memindahkan kekuatan administrative dan fiskal dalam satu individu desa.
III. PENUTUP

Pembangunan pertanian masa depan sangat ditentukan oleh para pelaku yang terlibat didalamnya. Pilihan atas substansi, arah dan strategi pembangunan tidak bisa dirumuskan oleh sekelompok kecil dalam lingkaran kekuasaan, namun harus mulai memperluas keterlibatan dan partisipasi publik.
Pembangunan pertanian dan pembangunan pedesaan sudah seharusnya diletakkan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam secara adil dan berkelanjutan. Ditengah tekanan liberalisasi perdagangan global dan krisis ekonomi, maka pertanian merupakan sektor yang harus lebih banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan pertanian merupakan penyangga sumber sumber penghidupan mayoritas rakyat, saat ini dan masa yang akan datang.
Semoga tulisan ini memberikan inspirasi dan sumbangan pemikiran bagi para pelaku pembangunan petanian, serta semangat dan keberanian untuk mewujudkannya.


REFRENSI
Dami Buchori , David Ardhian dan Witoro. Kebijakan Pertanian, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Partisipasi Publik. http://www.krkp.org/index.php.

0 komentar:

Posting Komentar