This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 12 Juli 2011

DAMPAK PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


OLEH :WANDRI (MAHASISWA D3 AGRIBISNIS JURUSAN SOSEK PETANIAN UNIVERSITAS BENGKULU)

1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita memerlukan air bersih untuk minum, memasak, mencuci dan keperluan lain. Air tersebut mempunyai standar 3 B yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak beracun. Tetapi adakalanya kita melihat air yang berwarna keruh dan berbau serta sering kali bercampur dengan benda-benda sampah seperti kaleng, plastik, dan sampah organic. Pemandangan seperti ini kita jumpai pada aliran sungai atau dikolam-kolam. Air yang demikian biasa disebut air kotor atau disebut pula air yang terpolusi.
Darimana polusi air itu berasal
Bagi kita, khususnya masyarakat pedesaan sungai adalah sumber air sehari-hari. Sumber polutan dapat berasal dari mana-mana. Contohnya limbah-limbah industri dibuang dan dialirkan ke sungai. Semua akhirnya bermuara di sungai dan pencemaran polutan air ini dapat merugikan manusia bila manusia mengkonsumsi air yang tercemar.

DAMPAK PENGELOLAAN LINGKUNGAN
2.1. Pengertian Polusi Air
Salah satu dampak negatif kemajuan ilmu dan teknologi yang tidak digunakan dengan benar adalah terjadinya polusi (pencemaran). Polusi adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur atau komponen lain yang merugikan kedalam lingkungan akibat aktivitas manusia atau proses alami. Dan segala sesuatu yang menyebabkan polusi disebut Polutan.

Sesuatu benda dapat dikatakan polutan bila:
1. Kadarnya melebihi batas normal
2. Berada pada tempat dan waktu yang tidak tepat
Polutan dapat berupa debu, bahan kimia, suara, panas, radiasi, makhluk hidup, zat-zat yang dihasilkan makhluk hidup dan sebagainya. Adanya polutan dalam jumlah yang berlebihan menyebabkan lingkungan tidak dapat mengadakan pembersihan sendiri (regenerasi). Oleh karena itu, polusi terhadap lingkungan perludideteksi secara dini dan ditangani segera dan terpadu.

Polusi Air adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsur atau komponen lainnya kedalam air sehingga kualitas air terganggu. Kualitas air terganggu ditandai dengan perubahan bau, rasa dan warna.

Beberapa contoh polutannya sebagai berikut :
a. Fosfat
Fosfat berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan deterjen
b. Nitrat dan Nitrit
Kedua senyawa ini berasal dari penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dan proses pembusukan materi organic
e. Minyak dan Hidrokarbon

Minyak dan hidrokarbon dapat berasal dari kebocoran pada roda dan kapal pengangkut minyak.

2.2 Macam-Macam Sumber Polusi Air
Sumber polusi air antara lain limbah industri, pertanian dan rumah tangga. Ada beberapa tipe polutan yang dapat masuk perairan yaitu : bahan-bahan yang mengandung bibit penyakit, bahan-bahan yang banyak membutuhkan oksigen untuk pengurainya, bahan-bahan kimia organic dari industri atau limbah pupuk pertanian, bahan-bahan yang tidak sedimen (endapan), dan bahan-bahan yang mengandung radioaktif dan panas.

Penggunaan insektisida seperti DDT (Dichloro Diphenil Trichonethan) oleh para petani, untuk memberantas hama tanaman dan serangga penyebar penyakit lain secara berlabihan dapat mengakibatkan pencemaran air. Terjadinya pembusukan yang berlebihan diperairan dapat pula menyebabkan pencemeran. Pembuangan sampah dapat mengakibatkan kadar O2 terlarut dalam air semakin berkurang karena sebagian besar dipergunakan oleh bakteri pembusuk.
Pembuangan sampah organic maupun yang anorganic yang dibuang kesungai terus-menerus, selain mencemari air, terutama dimusim hujan ini akan menimbulkan banjir. Belakangan ini musibah karena polusi air datang seakan tidak terbendung lagi disetip musim hujan. Sebenarnya air hujan adalah rahmat. Akan tetapi rahmat dapat menjadi ujian apabila kita tidak mengelolanyadengan benar.
Jika kita amati, air adalah unsur alam yang penting bagi manusia dengan sifat mengalir dan meresapnya. Apabila jalur-jalur alirannya terganggu dan lahan resapannya terbatas, air akan mengalir kesegala penjuru mengisi ruang-ruang yang paling rendah. Akhirnya terjadilah banjir. Karena itu yang disebut polusi air karena banyak kita yang kurang disiplin, misalnya dalam kebersihan lingkungan dan membuang sampah sembarangan.
Musibah banjir dapat terbagi dua akibat polusi air antara lain :
1.Banjir bandang (banjir besar), terjadi akibat air meluap dari jalur-jalur aliran (sungai) dengan volume air yang besar
2.Banjir genangan yaitu banjir local (setempat) akibat tergenangnya / terkonsentrasinya air hujan disuatu daerah yang saluran air (arainase) dan lahan resapannya terbatas. Akibatnya dalam waktu tertentu (temporer) air akan mengalir disekitar lingkungan rumah kita.

2.3 Bahaya Dari Akibat Polusi Air
Bibit-bibit penyakit berbagai zat yang bersifat racun dan bahan radioaktif dapat merugikan manusia. Berbagai polutan memerlukan O2 untuk pengurainya. Jika O2 kurang , pengurainya tidak sempurna dan menyebabkan air berubah warnanya dan berbau busuk. Bahan atau logam yang berbahaya seperti arsenat, uradium, krom, timah, air raksa, benzon, tetraklorida, karbon dan lain-lain. Bahan-bahan tesebut dapat merusak organ tubuh manusia atau dapat menyebabkan kanker. Sejumlah besar limbah dari sungai akan masuk kelaut.
Polutan ini dapat merusak kehidupan air sekitar muara sungai dan sebagian kecil laut muara. Bahan-bahan yang berbahaya masuk kelaut atau samudera mempunyai akibat jangka panjang yang belum diketahui. Banyak jenis kerang-kerangan yang mungkin mengandung zat yang berbahaya untuk dimakan. Laut dapat pula tecemar oleh minyak yang asalnya mungkin dari pemukiman, pabrik, melalui sungai atau dari kapal tanker yang rusak. Minyak dapat mematikan, burung dan hewan laut lainnya, sebagai contoh, efek keracunan hingga dapat dilihat di Jepang. Merkuri yang dibuang sebuah industri plastik keteluk minamata terakumulasi di jaringan tubuh ikan dan masyarakat yang mengkonsumsinya menderita cacat dan meninggal.
Akibat yang ditimbulkan oleh polusi air
a. Terganggunya kehidupan organisme air karena berkurangnya, kandungan oksigen
b. Terjadinya ledakan ganggang dan tumbuhan air (eurotrofikasi)
c. Pendangkalan dasar perairan
d. Tersumbatnya penyaring reservoir, dan menyebabkan perubahan ekologi
e. Dalam jangka panjang adalah kanker dan kelahiran cacat
f. Akibat penggunaan pertisida yang berlebihan sesuai selain membunuh hama dan penyakit, juga membunuh serangga dan makhluk berguna terutama predator
g. Kematian biota kuno, seperti plankton, iakn, bahkan burung
h. Mutasi sel, kanker, dan leukeumia

2.4 Usaha-usaha Mengatasi dan Mencegah Polusi Air
Pengenceran dan penguraian polutan air tanah sulit sekali karena airnya tidak
mengalir dan tidak mengandung bakteri pengurai yang aerob jadi, air tanah yang tercemar akan tetap tercemar dalam yang waktu yang sangat lama, walau tidak ada bahan pencemaran yang masuk. Karena ini banyak usaha untuk menajaga agar tanah tetap bersih misalnya:
1. Menempatkan daerah industri atau pabrik jauh dari daerah perumahan atau pemukiman
2. Pembuangan limbah industri diatur sehingga tidak mencermari lingkungan atau ekosistem
3. Pengawasan terhadap penggunaan jenis – jenis pestisida dan zat – zat kimia lain yang dapat menimbulkan pencemaran
4. Memperluas gerakan penghijauan
5. Tindakan tegas terhadap perilaku pencemaran lingkungan
6. Memberikan kesadaran terhadap masyaratkat tentang arti lingkungan hidup sehingga manusia lebih lebih mencintai lingkungan hidupnya.

Adapun cara lain untuk mengatasi polusi air atau yang dikenai dengan sebutan banjir pun ada dua macam :
1. Banjir Bandang dapat diatasi secara meluas dengan didukung berbagai disiplin ilmu
2. banjir genangan dapat diatasi dengan membersihkan air dari penyumbatan yang mengakibatkan air meluap
banyak orang mengatakan ” lebih baik mecegah dari pada mengatasi”, hal ini berlaku pula pada banjir genangan di bawah ini ada sejumlah langkah yang dapat kita lakukan untuk mencegah banjir genangan :
1. dalam merencanakan jalan – jalan lingkungan baik itu program pemerintah maupun swadaya masyarakat sebaiknya memilih material jalan yang menyerap air misalnya, penggunaan bahan dari paving blok (blok – blok adukan beton yang disusun dengan rongga – rongga resapan air disela – selanya. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah penataan saluran / drainase lingkjungan pembuatannyapun harus bersamaan dengan pembuatan jalan tersebu
2. Apabila di halaman pekarangan rumah kita masih terdapat ruang – ruang terbuka,buatlah sumur – sumur resapan air hujan sebanyak –banyaknya. Fungsi sumur resapan air ini untuk mempercepat air meresap kedalam tanah.

3 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Polusi adalah peristiwa masuknya zat, energi unsure atau komponen lain ke dalam
lingkungan akibat aktifitas manusia atau proses alam Segala sesuatu yang menyebabkan polusi disebut polutan. Polusi air adalah peristiwa masuknya zat, energi, unsure, atau komponen lainya ke dalam air sehingga kualitas air terganggu
Sumber polusi air antara lain limbah industri, pertanian, dan rumah-tangga Polusi air juga dapat menimbulkan bencana diantaranya banjir-
Elektrofikasi adalah penimbunan mineral yang menyebabkan peledakan alga secara Serentak menutupi pencemaran air
Bahan atau logam berbahaya seperti arsenat, benzon, timah dan lain -lain dapat
merusak organ tubuh manusia dan menyebabkan kanker Melakukan intensifikasi pertanian
Banjir genangan dapat diatasi dengan membersihkan saluran air dari penyumbatan

DAFTAR PUSTAKA

Djambur. W. Sukarno. 1993. Biologi I untuk Sekolah Menengah Umum. Jakarta
:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pusat perbukuan

Ahya M Salman, 1993, Biologi I untuk Sekolah Menengah Umum, Depdikbud, Jakarta
Santiyono, 1994. Biologi I untuk Sekolah Menengah Umum, penerbit Erlangga

Penyebab, Akibat dan Cara Penangulangan Kerusakan Hutan


Oleh : Ade Irawan (Mahasiswa D3 Agribisnis -Fak Pertanian Universitas Bengkulu)

I. Pendahuluan
Sumber daya alam merupakan sesuatu yang terdapat di muka bumi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sumber daya hutan. Sumber daya hutan merupakan segala sesuatu yang terdapat di hutan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya hutan sangat bersifat dinamis berubah dari waktu ke waktu, dari tempat satu ke tempat yang lain.seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia. Sumber daya hutan bersifat dapat diperbaharui. Sumber daya hutan harus dilestarikan mulai dari sekarang, karena jika sumber daya hutan tidak dilestarikan. Kelestarian alam akan terganggu. Hutan mempunyai banyak fungsi, Indonesia adalah salah satu negara dengan sumber daya hutan terbesar di dunia. Banyak sekali spesies tanaman yang terdapat di dalam hutan Indonesia.
Hutan merupakan sumberdaya yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Banyak Akibat negatif dari kerusakan hutan, misalnya polusi udara akibat dari kebakaran hutan, asap yang ditimbulkan mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara, perubahan iklim mikro maupun global, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, menurunnya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, kerusakan hutan harus segera ditangani secara serius.

II. HUTAN
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.

2.1. Macam-macam Jenis Hutan Di Indonesia
Brikut di bawah ini adalah pembagian macam-macam / jenis-jenis hutan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia disertai arti definisi dan pengertian :
1. Hutan Bakau
Hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai berlumpur. Contoh : pantai timur kalimantan, pantai selatan cilacap, dll.
Hutan Sabana
Hutan sabana adalah hutan padang rumput yang luas dengan jumlah pohon yang sangat sedikit dengan curah hujan yang rendah. Contoh : Nusa tenggara.
2. Hutan Rawa
Hutan rawa adalah hutan yang berada di daerah berawa dengan tumbuhan nipah tumbuh di hutan rawa. Contoh : Papua selatan, Kalimantan, dsb.
3. Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropis adalah hutan lebat / hutan rimba belantara yang tumbuh di sekitar garis khatulistiwa / ukuator yang memiliki curah turun hujan yang sangat tinggi. Hutan jenis yang satu ini memiliki tingkat kelembapan yang tinggi, bertanah subur, humus tinggi dan basah serta sulit untuk dimasuki oleh manusia. Hutan ini sangat disukai pembalak hutan liar dan juga pembalak legal jahat yang senang merusak hutan dan merugikan negara trilyunan rupiah. Contoh : hutan kalimantan, hutan sumatera, dsb.
4. Hutan Musim
Hutan musim adalah hutan dengan curah hujan tinggi namun punya periode musim kemarau yang panjang yang menggugurkan daun di kala kemarau menyelimuti hutan.
Di samping itu hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :
5. Hutan Wisata
Hutan wisata adalah hutan yang dijadikan suaka alam yang ditujukan untuk melindungi tumbuh-tumbuhan serta hewan / binatang langka agar tidak musnah / punah di masa depan. Hutan suaka alam dilarang untuk ditebang dan diganggu dialih fungsi sebagai buka hutan. Biasanya hutan wisata menjadi tempat rekreasi orang dan tempat penelitian.
6. Hutan Cadangan
Hutan cadangan merupakan hutan yang dijadikan sebagai lahan pertanian dan pemukiman penduduk. Di pulau jawa terdapat sekitar 20 juta hektar hutan cadangan.
7. Hutan Lindung
Hutan lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.
8. Hutan Produksi / Hutan Industri
Hutan produksi yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak. (http://organisasi.org/macam-jenis-hutan-di-indonesia-dan-fungsi-hutan-untuk-kehidupan-di-muka-bumi-ipa-geografi)

2.2 Peran Hutan Terhadap Lingkungan
Hutan bukanlah warisan nenek moyang, tetapi pinjaman anak cucu kita yang harus dilestarikan. Jika terjadi bencana, maka dipastikan, biaya 'recovery' jauh lebih besar ketimbang melakukan pencegahan secara dini. Begitu pentingnya fungsi hutan sehingga pada 21 Januari 2004 Presiden Megawati merasa perlu mencanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) yaitu gerakan moral yang melibatkan semua komponen masyarakat bangsa untuk memperbaiki kondisi hutan dan lahan kritis. Dengan harapan, agar lahan kritis itu dapat berfungsi optimal, yang juga pada gilirannya bermanfaat bagi masyarakat sendiri. Tujuan melibatkan komponen masyarakat, tentu saja, agar mereka menyadari bahwa hutan dan lingkungan itu sangat penting dijaga kelestariannya. Hutan memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan manusia diantaranya sebagai berikut :
1. Pelestarian Plasma Nutfah
Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
2. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting. Dengan demikian hutan menyaring udara menjadi lebih bersih dan sehat. (http://gudangmakalah.blogspot .com/2009/03/makalah-pengaruh-kerusakan-hutan.html)

III. PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN

3.1. Kebakaran Hutan
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
a. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
b. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) ntuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
c. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

3.2. Penebangan hutan secara sembarangan
Menebang hutan sembarangan akan menyebabkan hutan menjadi gundul. Ditambah lagi akhir-akhir ini penebangan hutan liar semakin marak terjadi,

3.3. Penegakan Hukum yang Lemah
Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S.Kaban SE.MSi menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah turut memperparah kerusakan hutan Indonesia. Menurut Kaban penegakan hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan.
Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah.

3.4. Mentalitas Manusia.
Manusia sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan
untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitative yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya.

IV. AKIBAT KERUSAKAN HUTAN
Kerusakan hutan akan menimbulkan beberapa dampak negatif yang besar di bumi:

1.Efek Rumah Kaca (Green house effect).
Hutan merupakan paru-paru bumi yang mempunyai fungsi mengabsorsi gas Co2. Berkurangnya hutan dan meningkatnya pemakaian energi fosil (minyak, batubara dll) akan menyebabkan kenaikan gas Co2 di atmosfer yang menyelebungi bumi. Gas ini makin lama akan semakin banyak, yang akhirnya membentuk satu lapisan yang mempunyai sifat seperti kaca yang mampu meneruskan pancaran sinar matahari yang berupa energi cahaya ke permukaan bumi, tetapi tidak dapat dilewati oleh pancaran energi panas dari permukaan bumi. Akibatnya energi panas akan dipantulkan kembali kepermukaan bumi oleh lapisan Co2 tersebut, sehingga terjadi pemanasan di permukaan bumi. Inilah yang disebut efek rumah kaca. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau
perubahan iklim bumi pada umumnya. Kalau ini berlangsung terus maka suhu bumi akan semakin meningkat, sehingga gumpalan es di kutub utara dan selatan akan mencair. Hal ini akhirnya akan berakibat naiknya permukaan air laut, sehingga beberapa kota dan wilayah di pinggir pantai akan terbenam air, sementara daerah yang kering karena kenaikan suhu akan menjadi semakin kering.

2.Kerusakan Lapisan Ozon
Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Di tengah-tengah kerusakan hutan, meningkatnya zat-zat kimia di bumi akan dapat menimbulkan rusaknya lapisan ozon. Kerusakan itu akan menimbulkan lubang-lubang pada lapisan ozon yang makin lama dapat semakin bertambah besar. Melalui lubang-lubang itu sinar ultraviolet akan menembus sampai ke bumi, sehingga dapat menyebabkan kanker kulit dan kerusakan pada tanaman-tanaman di bumi.

3.Kepunahan Species
Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan. Dalam peringatan Hari Keragaman Hayati Sedunia dua tahun yang lalu Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa setiap harinya Indonesia kehilangan satu species (punah) dan kehilangan hampir 70% habitat alami pada sepuluh
tahun terakhir ini.


4.Merugikan Keuangan Negara.
Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia.

5.Banjir.
Dalam peristiwa banjir yang sering melanda Indonesia akhir-akhir ini, disebutkan bahwa salah satu akar penyebabnya adalah karena rusaknya hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air (catchment area). Hutan yang berfungsi untuk mengendalikan banjir di waktu musim hujan dan menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau, akibat kerusakan hutan makin hari makin berkurang luasnya. Tempat-tempat untuk meresapnya air hujan (infiltrasi) sangat berkurang, sehingga air hujan yang mengalir di permukaan tanah jumlahnya semakin besar dan mengerosi daerah yang dilaluinya. Limpahannya akan menuju ke tempat yang lebih rendah sehingga menyebabkan banjir.
Bencana banjir dapat akan semakin bertambah dan akan berulang apabila hutan semakin mengalami kerusakan yang parah. Tidak hanya akan menimbulkan kerugian materi, tetapi nyawa manusia akan menjadi taruhannya. Banjir di Jawatimur dan Jawa tengah adalah contoh nyata.

Kebijakan Pertanian, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Partisipasi Publik

Oleh : Yelviora

I. LATAR BELAKANG
Saat ini pertanian mempunyai dua peran sekaligus tantangan :
(i) mendukung pemenuhan pangan bagi lebih dari 210 juta penduduk,
(ii) memberikan lapangan kerja bagi 21,74 juta rumah tangga tani yang merupakan 58,37 % dari total rumah tangga Indonesia (Sensus Pertanian, 1993). Sebagai sektor yang menjadi tumpuan bagi ketahanan pangan dan mata pencaharian sebagian sebagian rakyat, maka pembangunan pertanian merupakan generator bagi pembangunan nasional.
Harus diakui bahwa sepanjang pembangunan pertanian yang kita alami, kebijakan dan program pembangunan pertanian masih mempunyai negative residual effect dimana
(i) kemiskinan terbesar berada pada kelompok masyarakat pertanian dan pedesaan
(ii) sumberdaya alam dan lingkungan yang terdegradasi
(iii) kelembagaan petani yang tergantung pada program dan proyek pemerintah
(iv) ketergantungan petani terhadap teknologi dan input eksternal yang tinggi dan
(v) kerentanan sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan.
Akan tetapi, kemauan untuk perumusan, perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pertanian tidak hanya disandarkan atas permasalahan dan dampak pembangunan pada masa sebelumnya, namun juga perlu mempertimbangkan perubahan perubahan sebagai tantangan yang harus kita hadapi. Para pelaku dalam pembangunan pertanian tidak bisa lagi berhenti dalam stagnasi pemikiran dengan mencoba mereplikasi keberhasilan pembangunan pertanian di masa lalu, namun harus mulai untuk mencari terobosan pemikiran alternatif dengan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada.




II. PEMBAHASAN

Makalah ini akan mengupas dua isu penting yang dapat digunakan sebagai landasan bagi perumusan dan implementasi kebijakan pertanian ke depan. Pertama, isu pengelolaan sumberdaya alam. Tidak bisa dipungkiri bahwa kelangsungan penghidupan masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana sumberdaya alam dan lingkungan dikelola. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya alam secara lestari akan memberikan fondasi yang kuat bagi terwujudnya ketahanan pangan dan livelihood outcomes lainnya. Kedua, isu partisipasi publik. Ketika “demokrasi” menjadi pilihan untuk membangun konsensus dalam menyelesaikan masalah, maka partisipasi publik merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihindari dalam proses perumusan, perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.
“Scholl of Thought” dalam Pembangunan Pertanian
Sebelum memulai pembahasan mengenai dua proposisi utama dalam makalah ini, agaknya patut untuk mengelaborasi aras pemikiran yang berkembang berkaitan dengan pembangunan pertanian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan referensi yang akan memperkaya pemikiran akan pilihan pilihan model pembangunan pertanian ke depan.
Pretty (1995) mencatat ada lima schooll of thought dalam pembangunan pertanian :
1. Optimist.
Pihak ini mempunyai cara pikir bahwa supply akan selalu bertemu dengan demand dan petumbuhan produksi pangan akan bisa mengatasi kebutuhan pangan penduduk. Seperti nampak pada penurunan harga pangan (50% pada dekade yang lalu), mengindikasikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas kebutuhan konsumsi. Produksi pangan diharapkan akan meningkat dengan dua alasan (i) perkembangan bioteknologi yang semakin semarak sehingga akan menggenjot produksi pangan (ii) masih ada kemungkinan untuk melakukan ekstensifikasi 20-40 % sampai 2020 (masih ada 79 juta Ha di Sub-Sahara Afrika). Ini juga bisa diartikan bahwa negara berkembang masih bisa mengandalkan impor pangan dari negara industri.
2. Environmental pessimist.
Pihak ini yang sering mengingatkan bahwa secara batas daya dukung ekologi, akan segera tercapai, sudah terlampai atau sudah sangat lewat. Dinyatakan bahwa tekanan populasi terlampau tinggi sementara yield produksi lambat, bahkan menurun. Tidak ada teknologi yang mampu mangatasi, karena daya dukung lingkungan memerlukan waktu untuk memperbaiki diri. Eksploitasi dengan teknologi sifatnya kesementaraan, dan pada masa datang daya dukung lingkungan akan semakin buruk.
3. Industrialized world to the Rescue.
Kelompok pemikiran ini percaya bahwa negara dunia ketiga tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan pangannya, atas alasan ekologi, institusi dan infrastruktur dan untuk semua itu selalu ada gap yang bisa diisi oleh pertanian modern di negara Utara. Peningkatan produksi bisa dipacu dengan mekanisasi, petani kecil dan marginal bisa dikurangi jumlahnya sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam bisa dikurangi. Sebagai kompensasinya area yang diproteksi dan dikonservasi akan semakin besar. Produsen pangan besar akan memainkan peran dalam perdagangan pangan kepada siapa yang membutuhkan, sementara itu bantuan pangan disiapkan dan sistribusikan bagi masyarakat miskin
4. New Modernists.
Pemikiran dari kelompok ini menyatakan bahwa yield produksi masih dapat ditingkatkan pada luasan lahan yang ada dan pertumbuhan produksi pangan hanya dapat diperoleh dari input luar yang tinggi. Targetnya adalah untuk mempertahankan keberhasilan Revolusi Hijau. Lahan yang ada masih potensial karena belum dimaksimalkan pengelolaannya. Petani masih menggunakan terlalu sedikit pupuk dan pestisida, karena hanya dengan jalan inilah bisa meningkatkan produksi dan mengurangi tekanan terhadap konversi habitat alami. Pengulangan model Revolusi Hijau ini sering disebut sebagai science based agriculture, tujuannya untuk peningkatan penggunaan input pupuk dan pestisida. Paham ini juga berargumen bahwa dengan penggunaan input tinggi malah lebih berwawasan lingkungan dibanding input rendah, sebagaimana input rendah hanya akan menghasilkan output yang rendah juga.
5. Sustainable Intensification.
Paham ini menyatakan bahwa pertumbuhan produksi secara substansial mungkin dicapai pada potensi lahan yang ada sekarang bahkan yang sudah terdegradasi daya dukungnya, dengan syarat pada saat yang sama memproteksi dan meregenerasi sumberdaya alam. Argumen ini menyatakan bahwa input yang rendah (tidak harus input nol) dapat meningkatkan produktifitas dan menyediakan kesempatan bagi petani untuk mengembangkan teknologi. Paham ini juga menyarankan agar lahan pertanian, baik yang kritis maupun potensial, lebih banyak difungsikan dengan kapasitas dan potensi manusia, melalui proses proses biologi dan proses fisik. Pertanian yang berkelanjutan merupakan integrasi dari pengendalian hama, pengelolaan nutrient, pengelolaan tanah dan air serta pengembangan teknologi praktis.
Kelima varian pemikiran dalam pembangunan pertanian dalam konteks global bekerja melalui berbagai institusi dan pelaku pertanian di dunia. Hal tersebut termanifestasi dalam kepentingan agen agen pembangunan baik skala nasional maupun global, baik sektor pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil. Aras pemikiran yang bekerja menentukan bagaimana cara pandang terhadap pengelolaan sumberdaya alam, dan pada akhirnya menentukan orientasi kebijakan pertanian yang dibangun.
Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA) dan Pertanian Berkelanjutan
Dalam konteks ekologi ekosistem, ekosistem pertanian atau agroekosistem merupakan ekosistem artifisial atau buatan, untuk membedakan dengan ekosistem alami. Dengan demikian ada peran manusia yang mengelola sumberdaya alam yang ada dalam ekosistem untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Keberlanjutan pemenuhan kebutuhan tersebut ditentukan oleh daya dukung sumber daya alam dan lingkungan serta pengelolaan sumberdaya alam itu sendiri.
Sepanjang perjalanan pembangunan pertanian yang kita lalui kita menemukan bahwa orientasi yang terlampau kuat peningkatan produksi dengan implikasi eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, telah menghasilkan pseudo success. Produktifitas lahan memang bisa dipacu dengan teknologi dan input luar yang tinggi namun pada satu batasan tertentu akan terjadi penurunan produksi dan berbagai “cost” lingkungan seperti degradasi kesuburan dan erosi tanah, pencemaran air, terganggunya keseimbangan ekologis yang mengakibatkan kerentanan terjadinya ledakan hama.
Pertambahan jumlah penduduk mencapai lebih dari 210 juta memang tidak bisa dipungkiri merupakan sebuah realitas yang tidak terbantahkan. Artinya, bahwa produksi pangan bukan lagi sekedar peningkatan produksi (growth of production) namun juga persoalan (sustainable of production) (Adiwibowo, 2000). Untuk itu maka pengelolaan sumberdaya secara lestari merupakan kunci bagi keberlangsungan produksi pangan.
Beberapa hal yang patut dikembangkan sebagai landasan kebijakan pertanian terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah :
• Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati dalam pertanian atau agribiodiversity mencakup keragaman hewan, tanaman dan mikrorganisme yang berguna bagi pertanian. Agrobiodiversity memberikan kontribusi bagi kesehatatan agroekosistem dan resiliensi lingkungan terhadap perubahan. Agrobiodiversity memberikan kekayaan plasma nutfah tanaman sumber pangan, dan basis bagi diversifikasi pangan, kekayaan seranggga dan mikroorganisme yang berperan dalam proses fisik dan biologis dalam pertanian, kekayaan sumber sumber gizi dan berbagai tanaman obat obatan dan lain lain. Konservasi agrobiodiversity merupakan dasar bagi pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dalam pertanian.
• Indonesia terbagi atas kawasan kawasan yang mempunyai potensi biologis dan karakter fisiko kimia serta sumberdaya alam yang berbeda dan khas (bioregion). Masing masing bioregion jawa, sumatra, kalimantan, papua dan seterusnya, dapat dipandang menurut landskap ekosistem yang memiliki potensi, karakter dan sejarah evolusi kehidupan yang unik. Dalam demikian memiliki sejarah pengelolaan sumberdaya alam yang kaya akan konsepsi dan praktek genuine dalam masyarakat.
• Indonesia memiliki ragam masyarakat lokal yang kaya akan pengetahuan tradisional (indegenous knowledge) serta kekayaan nilai dan falsafah pengelolaan sumberdaya alam, dimana telah terbukti sepanjang ratusan tahun mampu mengatasi berbagai persoalan ekonomi, sosial, budaya dan ekologi dalam kehidupan masyarakat lokal.
Dengan potensi tersebut maka pembangunan pertanian harus diletakkan dalam konteks pembangunan kawasan. Pembangunan pertanian harus memperhatikan potensi ekologi, sosial, ekonomi dan budaya kawasan. Pembangunan pertanian harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara terintegratif, dengan memanfatkan multifungsi dari agrobiodiversity untuk dikelola secara berkelanjutan.
Konsepsi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan sebuah sebuah konsepsi tentang pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap mempertahankan lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam (resources management which satisfies human needs while maintaining the quality of the environment and conserving natural resources) (Triwidodo,1998).
Sistem pertanian berkelanjutan mempunyai sifat :
1. Secara ekonomi menguntungkan dan dapat dipertanggung jawabkan (economically viable). Petani mampu menghasilkan keuntungan dalam tingkat produksi yang cukup dan stabil, pada tingkat resiko yang bisa ditolerir/diterima.
2. Berwawasan ekologis (ecologically sound). Kualitas agroekosistem dipelihara atau ditingkatkan, dengan menjaga keseimbangan ekologi serta konservasi keanekaragaman hayati. Sistem pertanian yang berwawasan ekologi adalah sistem yang sehat dan mempunya ketahanan yang tinggi terhadap tekanan dan gangguan (stress dan shock)
3. Berkeadilan sosial (social just). Sistem pertanian yang menjamin terjadinya keadilan dalam akses dan kontrol terhadap lahan, modal, informasi dan pasar bagi yang terlibat tanpa membedakan status sosial-ekonomi, gender, agama atau kelompok etnis.
4. Manusiawi (humane) dan menghargai budaya lokal. Menghormati eksistensi dan memperlakukan dengan bijak semua jenis mahluk yang ada. Dalam pengembangan pertanian tidak melepaskan diri dari konteks budaya lokal dan menghargai tatanan nilai, spirit dan pengetahuan lokal
5. Mampu berdaptasi (adaptable). Mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi yang selalu berubah, seperti pertumbuhan populasi, tantangan kebijaksanaan yang baru dan perubahan konstalasi pasar.
Dengan ciri normatif tersebut seringkali pertanian berkelanjutan diragukan apakah akan ada sistem pertanian yang mampu memenuhi standart dan atribut tersebut. Dalam prakteknya ciri normatif tersebut dimanifestasikan dalam bentuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA).
Dalam pandangan LEISA, maka pertanian merupakan kombinasi terbaik dari pengelolaan sumberdaya alam dan penyediaan input fungsional. Hal ini dilakukan dengan integrasikan proses dan regenerasi alam, seperti siklus nutrien, fiksasi nitrogen, regenerasi tanah, dan musuh alami dari hama pada proses produksi. Dengan demikian maka akan menurunkan penggunaan input yang tidak bisa diperbaharui (pupuk dan pestisida kimia) yang merusak lingkungan dan bahaya bagi kesehatan dan konsumen.
Pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah akan menekankan penggunaan pengetahuan dan ketrampilan petani dan meningkatkan keswadayaan, sehingga akan membuat produktif modal sosial dan kapasitas manusia untuk bekerja sama dan memecahkan masalah bersama seperti pestisida, gulma, irigasi, hutan dan manajemen kredit. Keberlanjutan teknologi pertanian dan prakteknya harus benar benar diadopsi dari lokal. Mereka akan tumbuh dari konfigurasi modal sosial (hubungan kepercayaan pada organisasi sosial yang baru, baik hubungan vertikal maupun horisontal) serta modal manusia seperti kepemimpinan, pengetahuan, ketrampilan management, kapasitas utuk menguji dan inovasi). Sistem pertanian dengan biaya sosial dan kemanusiaan yang tinggi akan mampu untuk melakukan inovasi dan menguragi ketidakpastian dan memberikan kelentingan dalam merespon perubahan.
Pertanian berkelanjutan secara bersama akan memproduksi pangan dan bahan pangan yang lain untuk keluarga tani namun juga akan memberikan kontribusi untuk skala publik seperti pakaian bersih, kehidupan langka, pengelolaan karbon dalam tanah, pencegahan banjir dan kualitas land scape. Pendekatan tersebut juga akan menghasilkan fungsi pangan yang unik yang tidak dapat diproduksi sektor lain seperti keanekaragaman hayati pada lahan, pengaktifan air tanah, reurbanisasi ke desa dan kohesivitas sosial.
Secara umum prinsip LEISA adalah meniru alam, mengupayakan keanekaragaman hayati, memperbaiki kualitas tanah dan air serta pola aliran siklik dalam pengelolaan nitrient. Inovasi praktek dan pendekatan LEISA telah banyak dikembangkan. Tantangannya adalah bagaimana menggunakan perangkat pemikiran tersebut untuk mengatasi persoalan pertanian di Indonesia.Kebijakan pertanian sebagai instrumen dalam pembangunan pertanian seharusnya dilandaskan atas upaya untuk memenuhi kebutuhan penyelesaian persoalan pangan dengan tetap memperhitungkan keberlanjutan dari proses itu sendiri. Sebagai sebuah pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya alam LEISA patut untuk mendapatkan perhatian sebagai salah satu alternatif atas mind-set pemikiran dominan yang terbentuk atas keberhasilan swa-sembada beras pada masa lampau.
Kebijakan Pertanian dan Partisipasi Publik
Selain perhatian terhadap substansi, proses juga merupakan faktor yang penting. Isu partisipasi adalah upaya untuk memperbesar ruang publik dalam perumusan dan implementasi kebijakan pertanian. Keterlibatan publik (public involvement) merupakan sebuah kebutuhan jika para pelaku dalam bidang pertanian menyadari pergeseran paradigma dari programed governance menuju shared governence. Dari pemerintah yang menentukan menuju pemerintahan yang berbagi, dari kebijakan pemerintah menuju kebijakan publik.
Sepanjang sejarah panjang pembangunan pertanian dominasi peran pemerintah sangat kuat dalam menentukan arah dan strategi kebijakan pertanian. Kritik terhadap sentralisasi kebijakan pertanian telah berlangsung lama dan tidak akan dikupas terlampau banyak dalam makalah ini. Makalah ini mencoba untuk membawa diskusi kepada perspektif partisipasi dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan. Istilah partisipasi merupakan istilah umum bagi hampir sebagian besar agen pembangunan. Selalu nampak menarik, jika istilah partisipatif ditempelkan dalam bagi kerja kerja pengembangan masyarakat, atau pembangunan pada umumnya. Ada kesan bahwa dengan label partisipasi akan mampu menampilkan kesan seolah olah sebuah kegiatan memiliki legitimasi kuat dari publik .
Penerapan partisipasi dalam pembangunan pertanian telah berlangsung sejak lama, dan telah menjadi kata kunci bagi berbagai agen pembangunan baik nasional maupun internasional, dimana mempunyai makna pelibatan masyarakat pada aspek perencanaan dan implementasi. Ada dua sudut pandang yang berkembang dalam memahami partisipasi. Pada satu sisi partisipasi dipahami sebagai dalam konteks peningkatan efisiensi, dimana keterlibatan masyarakat akan menjadi persetujuan dan dukungan bagi pembagunan atau layanan publik kepada masyarakat. Pada sudut pandang yang lain partisipasi dipahami sebagai hak fundamental bagi masyarakat untuk memobilisasi aksi kolektif, pemberdayaan dan pembangunan institusi (Pretty, 1995).
Saat ini, banyak sudi komparatif dari proyek pembangunan yang menunjukkan bahwa partisipasi adalah satu dari komponen penting untuk pembangunan. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan mobilisasi dari rasa memiliki stakeholders terhadap kebijakan dan proyek; peningkatan efisiensi ; pemahaman dan kohesi sosial; lebih cost-effective dalam pelayanan; transparansi dan akuntabilitas; peningkatan keberdayaan masyarakat miskin dan marginal; dan penguatan kapasitas manusia untuk belajar dan bertindak (Uphoff et al, 1998).
Dalam konteks pengambilan keputusan, partisipasi sering dikaitkan dengan proses deliberatif dan inklusif untuk keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan merupakan sebuah isu penting dalam wacana kebijakan baik negara utara maupun di negara berkembang. Hal ini semakin menampakkan relevansinya ketika demokrasi liberal yang banyak diadopsi oleh berbagai negara menampakkan sisi lemahnya.
Krisis legitimasi terhadap institusi pengambilan keputusan di mata rakyat marginal sudah banyak didokumentasikan. Pengalaman dari participatory research di 23 negara, yang ditulis sebagai “Consultation with the poor” untuk laporan kepada Bank Dunia, World Development Report 2001, menyimpulkan :
From the perspectives of the poor people world wide, there is a crisis in governance. While the range of institution that play important role in poor people’s lives is vast, poor people are excluded from participation in governance. State institutions, whether represented by central ministries or local government, are often neither responsive nor accountable to the poor ; rather this report details the arrogance and disdain with which poor people are treated. Poor people see little recourse to injustice, criminality, abuse and corruption by institution. Not surprisingly, poor men dan women lack confidence in the state institutions even though they still express their willingness to partner with them under fairer rules (Narayan et al,2000 dalam Pimbert dan Wakeford 2002)
Fakta tersebut mengakibatkan partisipasi yang didalamnya memiliki makna proses deliberatif dan inklusif mulai mendapat perhatian sebagai suplemen bagi sistem demokrasi perwakilan. Sepanjang seperempat abad sejumlah pendekatan dan metodologi partisipatif telah banyak digunakan seperti citizen jury, forum warga/rembug warga (neighbourhood forum), concensus conference, scenario workshops, pemetaan multi-kriteria, participatory rural appraisal (PRA) dan deliberatif polling (Pimbert and Wakeford, 2002). Metode tersebut telah digunakan dalam berbagai substasi dan ragam isu dan konteks permasalan. Organisasi masyarakat sipil banyak yang telah mempraktekkan metodologi partisipatif dalam aktivitas dan pergerakannya.
Organisasi masyarakat sipil, mulai banyak bergerak untuk melakukan peran advokasi, untuk menyuarakan aspirasi masyarakat marginal untuk bisa menjadi bagian dalam formulasi kebijakan pemerintah dan desain teknologi yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat serta pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan Proses deliberatif melalui penguatan dan perluasan partisipasi publik merupakan potensi untuk memperbaiki kualitas pengambilan keputusan, dan membuat formulasi dan implementasi kebijakan menjadi semakin legitimate, efektif, efisien dan berkelanjutan (Pimbert and Wakeford, 2002).
Dalam prakteknya partisipasi publik dengan proses deliberatif mulai banyak diimplementasikan. Bebererapa bentuknya adalah :
1. Di Porto Alegre, Brazil dikembangkan dalam bentuk participatory budgeting, dimana warga kota berpartisipasi langsung dalam penentuan anggaran pembangunan kota ;
2. Stakehoder Ecosystem Governance Under US Endagered Species Act., dimana stakeholder terlibat penyusunan ecosystem governance dimana mempunyai dua kegunaan untuk pemberdayaan sumberdaya manusia dan konservasi spesies langka.
3. Panchayat Reform di West Bengal, India dimana membangun saluran demokrasi langsung dan perwakilan untuk memindahkan kekuatan administrative dan fiskal dalam satu individu desa.
III. PENUTUP

Pembangunan pertanian masa depan sangat ditentukan oleh para pelaku yang terlibat didalamnya. Pilihan atas substansi, arah dan strategi pembangunan tidak bisa dirumuskan oleh sekelompok kecil dalam lingkaran kekuasaan, namun harus mulai memperluas keterlibatan dan partisipasi publik.
Pembangunan pertanian dan pembangunan pedesaan sudah seharusnya diletakkan dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam secara adil dan berkelanjutan. Ditengah tekanan liberalisasi perdagangan global dan krisis ekonomi, maka pertanian merupakan sektor yang harus lebih banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan pertanian merupakan penyangga sumber sumber penghidupan mayoritas rakyat, saat ini dan masa yang akan datang.
Semoga tulisan ini memberikan inspirasi dan sumbangan pemikiran bagi para pelaku pembangunan petanian, serta semangat dan keberanian untuk mewujudkannya.


REFRENSI
Dami Buchori , David Ardhian dan Witoro. Kebijakan Pertanian, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Partisipasi Publik. http://www.krkp.org/index.php.

Rabu, 29 Juni 2011

SWASEMBADA PANGAN MASIH MENUGGU KITA DI DEPAN


Oleh Reflis
oleh : Reflis

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sebagai negara agraris, keunggulan komparatif ( comparative advantage) Indonesia adalah agribisnis. Keunggulan komparatif tersebut merupakan fundamental perekonomian yang perlu didayagunakan melalui pembangunan ekonomi sehingga menjadi keunggulan bersaing ( competitive advantage). Dengan begitu perekonomian yang dikembangkan di Indonesia memiliki landasan yang kokoh pada sumberdaya domestik, memiliki kemampuan bersaing dan berdayaguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari sisi permintaan, prospek pembangunan berkaitan dengan potensi pasar domestik dan internasional. Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk – produk pertanian. Sampai saat ini, selain beras konsumsi per kapita produk – produk pertanian masih tergolong rendah, karena tingkat pendapatan per kapita masyarakat yang relatif rendah. Dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan jumlah penduduk, konsumsi produk – produk pertanian akan meningkat pula. Peningkatan permintaan akan mengarah kepada produk – produk pertanian olahan, sehingga melalui pengembangan produk olahan ( produk agro – industri) yang sesuai dengan permintaan pasar akan meningkatkan nilai tambah pertanian. Di masa mendatang, pengembangan agro – industri pedesaan merupakan langkah yang sangat strategis untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
Di pasar internasional, peluang pasar produk pertanian semakin meningkat dengan berkembangnya kesadaran masyarakat internasional terhadap kelestarian lingkungan, yang berarti akan mendorong meningkatnya permintaan produk pertanian yang ramah lingkungan dan meninggalkan penggunaan produk – produk kimia turunan (produk sintetis) yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan.
Peluang pengembangan pertanian berkaitan dengan upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi pertanian. Sampai saat ini tingkat penggunaan teknologi baik pra maupun pasca panen belum optimal. Hal ini ditunjukkan oleh adanya senjang hasil antara produktivitas riel di tingkat usahatani dan produktivitas potensial yang secara rata – rata berkisar antara 20 – 50 persen. Rendahnya tingkat penggunaan teknologi ini, karena berbagai keterbatasan seperti penguasaan lahan yang sempit, keterbatasan modal petani, rendahnya aksesibilitas terhadap sumber informasi, dan kurang tersedianya teknologi spesifik lokalita. Belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya dapat dilihat dari beberapa contoh berikut :
• Masih banyak tersedia lahan potensial yang belum dimanfaatkan seperti lahan kering, lahan rawa, gambut, dan pasang surut.
• Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia belum dimanfaatkan dan dikembangkan secara maksimal. Dari jutaan spesies, baru sekitar 6000 spesies tanaman dan hewan yang telah dimanfaatkan. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan modal dan ketersediaan sarana pendukung investasi, serta rendahnya kualitas tenaga kerja pertanian.
• Tingkat kehilangan dan kerusakan pasca panen hasil – hasil pertanian masih cukup tinggi, yaitu berkisar antara 5 –15 persen. Hal ini antara lain menyebabkan mutu produk pertanian masih rendah.
• Ekspor produk pertanian Indonesia pada umumnya masih dalam bentuk komoditi primer dan bukan dalam bentuk produk olahan akhir, menyebabkan tingkat pendapatan petani rendah karena nilai tambah produk tidak dinikmati oleh petani.

II. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN
PADA ERA GLOBALISASI
2.1. Pembangunan Pertanian Era Globalisasi Dan Otonomi Daerah
Sektor pertanian telah dan terus dituntut berperan dalam pembangunan nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto ( PDB), penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, perolehan devisa melalui ekspor, penciptaan ketahanan pangan nasional, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan sektor lain.
Penyelenggaraan pembangunan pertanian saat ini dihadapkan pada sejumlah tantangan baik dari lingkungan strategis dalam negeri maupun lingkungan global. Tantangan pembangunan pertanian berkaitan dengan lingkungan strategis dalam negeri dalam jangka pendek adalah upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisisi ekonomi berkepanjangan, sementara dalam beberapa tahun kedepan dihadapkan pada kemampuan pembiayaan pemerintah yang sangat terbatas.
Dengan bergulirnya reformasi, pembangungunan nasional termasuk pembangunan pertanian diarahakan kepada tuntutan desentrallisasi, transparansi, akuntabilitas, demokrasi dan partisipasi masyarakat. Hal ini membawa tantangan baru bagi pembagunan pertanian ke depan berkaitan dengan pemberdayaan mayarakat dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelolah pembangunan.
Kondisi usaha pertanian dihadapkan kepada dualisme pelaku pembangunan pertanian yaitu pertanian rakyat tradisional berskala kecil subsisten dan pertanian modern yang dilakukan oleh usaha skala besar komersial. Hal ini memunculkan tantangan baru yaitu bagaimana memadukan kedua kelompok pelaku usaha pertanian tersebut secara optimal tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip efisiensi dan keadilan.
Adanya penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa telah berakibat serius dalam upaya peningkatan produksi pertanian terutama produksi pangan dan hal ini berdampak langsung terhadap ketahanan pangan nasional. Sementara pengmbangan dan pendayagunaan lahan di luar Jawa menghadapi kendala teknis yaitu produktivitas yang rendah.
Pembangunan pertanian tidak hanya ditentukan oleh kebijaksanaan di sector pertanian, tetapi sangat dipengaruhi oleh dukungan sector lain, seperti kebijaksanaan-kebijaksanaan makro, industri dan perdagangan, pengairan, permodalan, investasi, dan lainnya. Untuk itu, keberhasilan pembanguanan pertanian ke depan sangat bergantung pada dukungan sector lain.
Tantang pembangunan pertanian dari lingkungan strategis global antara lain dengan diratifikasinya beberapa kesepakatan internasional (GATT/WTO) dan regional (APEC,AFTA,MEE, NAFTA) serta blok-blok perdagangan lainnya, menyebabkan pasar di dalam negeri terintegrasi kuat dengan pasar regional/internasional. Kondisi ini memaksa setiap Negara membuka secara bertahap segala rintangan perdagagan dan investasi, serta menurunkan berbagai bentk proteksi berupa bea masuk yang tinggi dan subsidi. Dengan demikian, usaha pertanian domestic akan berkompetisi langsung dengan usaha pertanian global.
Proses liberalisasi yang didorong kuatb oleh revolusi bidang transportasi dan telekomunikasi, menyebabkan kebijaksanaan seperti seperti kebijaksanaan stabilisasi harga semakin sulit dilaksanakan pemerinta, karena dinamika harga internasional akan secara cepat langsung mempengaruhi kebijaksanaan dalam negeri.
Arus globalisasi dan liberalisasi semakin menguat, bukan saja dalam perdaganangan dan investasi, tetapi juga pada aspek-aspek lain seperti pola konsumsi masyarakat, kepedulaian terhadap kelestarian lingkungan, aspek hak asasi manusia (HAM) dan gender serta perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan merek dagang. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan produk pertanian. Untuk itu, mau tidak mau kita harus mampu meningkatkan daya saing pertania domestic.
Implementasi liberalisasi perdagangan produk, pertanian dunia bagi Negara berkembang sering dinilai tidak adil (Unfair trade). Hal ini karena sebagian besar negara, terutama Negara kaya dan maju memberikan berbagai bentuk subsidi dan proteksi bagi petani di negaranya. Sebagai contoh, tahun 2002 Amerika Serikat menyetujui farm bill yang menyangkut subsidi sebesar US $ 180,0 miliar dalam tempo 10 tahun atau setara dengan Rp 160 triliun per tahun. Subsidi Negara maju yang demikian besar cenderung mematikan usaha petani di Negara-negara berkembang. Beberapa Negara lain seperti, Eropa, Jepang, dan Korea juga melindungi produksi domestiknya melalui pemberian subsidi, sementara Indonesia, dengan adanya LOI-IMF pemerintah dipaksa untuk terus menurunkan tariff produk pertanian yang saat ini rata-rata sebesar 8,2 persen. Sebagai akibatnya Indonesia termasuk Negara paling liberal dalam perdagangan produk pertanian di antara produsen pertanian di dunia.
Usaha pertanian Indonesia merupakan sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat. Sebagian besar usaha pertanian tersebut dilakukan oleh rumah tangga skala kecil yang memerlukan perlindungan dan pembinaan pemerintah.
Dalam rangka melindungi usaha pertanian dan meningkatkan daya saingnya, pemerintah menerapkan kebijaksanaan promosi dan proteksi merupakan perpaduan atara upaya meningkatkan daya saing dan menerapkan kebijaksanaan perlindungan. Perlindungan usaha kecil dalam bentuk penerapan proteksi bagi usaha pertanian dan komoditi diberikan pada periode tertentu sehingga usaha tersebut mampu bersaing.
Kebijaksanaan dan strategi proteksiu untuk melindungi petani antara lain diupayakan baik melalui forum internasional maupun dalam negeri. Di forum WTO,Indonesia memimpin 33 negara berkembang yang dikenal dengan G-33 (Alliance for Strategi Product and Special Safeguard Mechanism) untuk memperjuangkan konsep Strategic Product (SP) yang ditujuukan untuk melindungi petani dari persaingan yang tidak adil yang dipraktekkan oleh Negara-negara maju. Sedangkan di dalam negeri strategi proteksi dirumuskan berbagai kebijaksanaan untuk melindungi petani, antara lain: (1) kebijaksanaan pangan nasional, yaitu dengan membentuk Dewan Ketahanan Pangan, Inpres Nomor: 9 tahun 2001 tentang kebjaksanaan perberasan nasional; penerapan bea masuk beras dan kebijaksanaan melarang impor beras sebulan sebelum panen raya, pada masa pane raya, dan dua bulan setelah panen raya; dana talangan untuk mengamankan harga dasar pembelian pemerintah (HDPP); dan (2) kebijaksanaan pergulaan nasional, yaitu pengaturan tata niaga gula, termasuk bea masuk gula untuk mengangkat harga domestic, serta percepatan peningkatan produktivitas tebu rakyat.

2.2. Agenda Pembangunan Pertanian Mendatang
Sesuai dengan peran dan tuntunan yang saat ini dan kedepan kita menghadapi beberapa persoalan pokok pembangunan pertanian, yaitu:
Pertama: Pencapaian Kecukupan Pangan yang Dihasilkan Dariproduksi Domestik dan Tidak Mengandalkan Kepada Impor. Permintaan kebutuhan pangan kan terus meningkat sejalan denhan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang besar, sementara di sisi penyediaan kita menghadapi sulitnya mempertahankan sumberdaya lahan dan air untuk keperluan produksi pangan akibat tingginya laju konversi lahan pertanian potensial ke non-pertanian. Keterbatasan lahan pertanian apabila tidak ditangani sekarang akan menimbulkan bencana kekurangan pangan dimasa mendatang. Untuk beras, dengan angka konsumsi 130,5 kg/kap/tahun, dan angka kelahiran 1,34%/tahun, maka kebutuhan beras tahun 2010 dan 2020 masing-masing adalah 36 juta ton, dan 72,5 juta ton. Jika tidak dibarengi perluasan lahan pertanian, denagan kondisi sekarang mustahil Indonesia bisa mencapai ketahanan pangannya. Kita memerlukan lahan baru (lahan kering) dengan produktivitas 2 ton gabah kering giling/hektar sebesar 5 juta hektar tahun 2020 agar dapat mengejar konsumsi. Harus diingat, ini baru untuk beras saja.
Kedua; Menghasilkan Bahan Baku Industri Guna Mendukung Berkembangnya Agro-Industri Yang Berdaya saing. Penumbuhan agro-industri menuntut penediaan bahan baku yang memenuhi persyaratan dari segi jumlah(volume), kualitas, kontiinuitas dan harga yang sesuai.
Ketiga: Peningkatan Pendapatan Petani dan Pengentasan Kemiskinan. Peningkatan produksi ternyata tidak selalu diikuti oleh peningkatan pendapatan petani secara proporsional. Hal ini antara lain akibat nilai tukar pertanian yang cenderung penurun(laju kenaikan harga produk non-pertanian lebih tinggi dari laju kenaikan harga produk pertanian). Rendahnya harga yang diterima petani juga dapat disebabkan oleh struktur pasar komoditi pertanian dan rendahnya daya tawar petani.
Keempat: Peningkatan produktifitas tenaga kerja pertanian. Transformasi ekonomi yang dilakukan pada kegiatan pembangunan telah mengakibatkan penurunan pangsa PDB pertanian. Namun penurunan pangsa PDB tersebut tidak diimbangi oleh penurunan jumlah tenaga kerja pertanian yang berakibat pada rendahnya produktifitas tenaga kerja sector pertanian dibandingkan dengan produktifitas tenaga kerja non-pertanian. Ini merupakan persoalan klasik bangsa kita. Disatu pihak sector non-pertanian belum mampu menuyerap tenaga kerja dalam jumlah besar karena umumnya bersifat padat modal, bukan padat karya. Dipihak lain, mutu SDM pertanian itu sendiri masih rendah, berakibat pada rendahnya produktifitas.
Kelima: Peningkatan investasi pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan dalam merangkai peningkatan sebesar-besarnya peran masyarakat/swasta dalam pengembangan usaha pertanian. Pemerintah berperan memfasilitasi tumbuhnya partisipasi masyarakat tersebut. Dalam pengembangan usaha pertanian/agribisnis diperlukan adanya investasi. Namun saat ini akses terhadap permodalan formal relative terbatas sebagai akibat adanya kesenjangan kebijaksanaan, aturan dan prosedur dibidang permodalan dengan kondisi masyarakat agribisnis yang sebagian besar sekala kecil dan menuntut kemudahan prosedur. Sebaliknya, dari pihak lembaga keuangan dituntut persyaratan kelayakan usaha(Bankable). Untuk itu diperlukan adanya lembaga untuk mengatasi kesenjangan ini. Konsultan Keuangan Mitra Bank(KKMB) yang baru-baru ini dibentuk pemerintah diharapkan mampu membuka aksess modal ini .
Keenam:Optimalisasi sumberdaya pertanian. Tingginya laju Konversi lahan pertanian subur di Jawa dan sekitar dan sekitar daerah perkotaan pada umumnya menharuskan kita memanfaatkan lahan- lahan yang relative kurang subur dan marjinal. Sementara, pengembangan kawasan irigasi baru berskala besar untuk lahan pangan juga semakin sulit kareena semakin langkanya sumber air dan lahan hamparan yang diairi, pembangunan system pengairan berskala besar relative mahal, dan membutuhkan waktu panjang dan sarat dengan masalah social. Untuk itu kita dituntut untuk mempunyai kemampuan yang didukung oleh teknologi untuk memanfaatkan lahan-lahan kurang subur, marjinal dan berskala kecil-kecil. Urgensi pendayagunaan lahan kurang subur juga karena masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan berada diwilayah tersebut.
Ketujuh: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Pembangunan pertanian merupakan pendayagunaan sumberdaya alam untuk tujuan usaha pertanian. Dengan demikian keberlanjutan usaha sangat terkait dengan kelestarian sumberdaya pertanian, terutama lahan, air dan plasma nutfah. Kesadaran terhadap lingkungan dan keberlanmjutan harus mendapat perhatian sungguh-sungguh berkaitan dengan pengamanan keberlanjutan usaha. Pembangunban pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha pertanian melalui penerapan teknologi dan kelembagan secara berkesenambungan bagi generasi kini dan masa depan.

2.3. Strategi Pembangunan Pertanian
Untuk mendayagunakan keunggulan Indonesia sebagai negara agraris serta menghadapi tantangan (Otonomi daerah, liberalisasi perdagangan, perubahan internasional lainnya) kedepan, pemerintah (Departemen Pertanian beserta Departemen terkait) telah mempromosikan pembangunan system dan usaha agribisnis yang berdayasaing (competitive), berkerakyatan(people-Driven), berkelanjutan (Sustainable) dan terdesentralistis (Decentralized).
Pembangunan system dan usaha agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan secara simultan dan harmonis pembangunan sector pertanian (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri (industrial cluster) yang mencakup lima subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani/ternak, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa.
Dengan pengertian agribisnis yang demikian berarti suatu system mencakup lima subsistem yakni: Pertama, Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yakni kegiatan ekonomi (industri, perdagangan) yang menyediakan saran produksi bagi pertanian, seperti industri dan perdagangan agrokimia (pupuk, pestisida dan lainnya), industri agro-otomotif (mesin dan peralatan) dan industri pembibitan/perbenihan. Kedua, subsistem usaha tani (on-farm agribusiness) yakni kegiatan ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan dari subsistem agribisnis hulu untuk menghasilkan komoditi pertanian primer. Termasuk kedalam subsistem ini adalah usaha tanaman pangan, usaha tanaman holtikultura, usaha tanaman obat-obatan, usaha perkebunan, usaha perikanan, usaha peternakan dan kehutanan. Ketiga subsistem pengolahan(down stream agribusiness) yakni kegiatan industri yang mengolah komoditi pertanian primer menjadi produk olahan baik produk antara(Intermediate product) maupun produk akhir(final product). Kedalam subsistem ini masuk industri pengolahan makanan dan minuman, industri pengolahan serat(kayu, kulit, karet, sutera, jerami), industri jasa boga (Food service industry), industri parmasi dan bahan kecantikan, dan lain-lain. Keempat, subsistem pemasaran yakni kegiatan- kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditi pertanian baik segar maupu olahan didalam dan diluar negeri. Termasuk didalamnya adalah kegiatan distribusi untuk memperlancar arus komoditi dari sentra produksi kesentra konsumsi, promosi, informasi pasar serta intelijen pasar (market intelligence).
Dalam konteks pembangunan ekonomi, pembangunan system agribisnis tidak dapat terlepas dari sector penunjang perekonomian. Oleh karena itu, selain keempat subsistem diatas, diperlukan subsistem kelima sebagai bagian dari pembangunan system agribisnis. Subsistem penunjang yang dimaksud adalah seluruh kegiatan yang menyediakan jasa bagi agribisnis seperti lembaga keuangan (Bank dan non-Bank), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga transfortasi, lembaga pendidikan dan penyuluhan, lembaga keuangan mikro dan sebagainya.
Dengan konseptualisasi pembangunan system agribisnis yang demikian, maka prinsip pokok dalam pembangunan system agribisnis adalah mengembangkan seluruh subsistem tersebut secara simultan dan harmopnis. Secara simultan artinya subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa penunjang harus di kembangkan sekaligus. Sedangkan secara harmonis maksudnya adalah bahwa ke-lima subsistem tersebut haruslah berkembang secara berimbang. Ketertinggalan perkembangan salah satu subsistem akan menjadi pembatas (bottleneck) system agribisnis secara keseluruhan. Ibarat iring-iringan suatu konvoi, laju konvoi secara keseluruhan akan ditentukan oleh komponen konvoi yang paling lambat lajunya. Oleh karena itu tugas pengelolaan pembangunan system agribisnis adalah menjaga keharmonisan perkembangan ke-lima subsistem agribisnis tersebut sedemikian rupa sehingga menjadi ”orchestra” pembangunan yang saling mendukung.
Pembangunan system agribisnis tersebut perlu ditempatkan bukan hanya sebagai pendekatan pembangunan pertanian, tetapi lebih dari itu pembangunan system agribisnis perlu dijadikan sebagai penggerak utama (grand strategy) pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan (agribusiness-led development). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan strategis yakni: Pertama, membangun perekonomian yang berdaya saing berdasarkan keunggulan komparatif sebagai Negara agraris dan maritime merupakan amanat konstitusi sebagaimana dimuat dalam GBHN 1999-2004; Kedua; Data Menunjukan bahwa sektor agribisnis merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB, kesempatan kerjadan berusaha serta ekspor. Ketiga, agribisnis merupakan sektor utama perekonomian daerah baik dalam pembentukan PDB, kesempatan kerja dan berusaha maupun dalam ekspor daerah. Selain itu, sumberdaya ekonomi daerah yang paling siap didayagunakan untuk percepatan pembanguna ekonomi daerah adalah sumberdaya agribisnis; Keempat, dengan membangun sistem agribisnis maka secara in-heren (built-in) akan membangun sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman bahan pangan, budaya dan kelembagaan lokal. Pembangunan sistem ketahanan pangan (food security) yang kokoh tetap menjadi salah satu prioritas ke depan, karena sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat berkaitan erat dengan ketahanan sosial dan ketahanan ekonomi bahkan ketahanan nasional (national security) secara keseluruhan; Kelima, pembangunan sistem agribisnis berperan penting dalam pelestarian lingkungan hidup.
Dengan perkatan lain, dengan menempatkan pembangunan sistem agribisnis sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional (agribusiness-led development) maka persoalan ekonomi Indonesia saat ini seperti pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan devisa, pemerataan, percepatan pembangunan ekonomi daerah, membangun ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan hidup, akan dapat dipecahkan sekaligus dan berkelanjutan.
Seperti diuraikan terlebih dahulu, pembangunan perekonomian Indonesia melalu pembangunan sistem dan usaha agribisnis ke depan dihadapkan pada dua tantangan besar yang perlu diakomodasikan dimaksudkan adalah: Pertama, liberalisasi perdagangan internasional memerlukan peningkatan kemampuan bersaing ; Kedua, pelaksanaan otonomi daerah yang di dalamnya menyangkut pengurangan peranan langsung pemerintah dan desentralisasi pembangunan, dan lain-lain.
Berdasarkan tantangan tersebut dan memperhatikan kondisi saat ini, visi pembangunan sistem agribisnis sebagai penggerak utama pembangunan nasional adalah : “Terwujud perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi”.
Dengan visi tersebut, ke depan kita akam membangun suatu sistem atau struktur agribisnis yang mencangkup industri hulu pertanian, pertanian itu sendiri, industri hlir pertanian serta jasa-jasa pendukung; yang berdayasaing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Selain itu, juga dikembangkan usaha-usaha agribisnis yang mencangkup usaha rumah tangga, usaha kelompok, usaha kecil, usaha menengah , usaha koperasi dan korporasi yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.
Berdayasaing dicirikan antara lain berorientasi pasar, menngkatkan pangsa pasara khususnya di pasar internasional dan mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melalui pemanfaatan modal (capital-driven), pemanfaatan inovasi teknologi (innovation-driver) serta kreativitas sumberdaya manusia (skill-driven) dan bukan lagi mengandalkan melimpahnya sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor driven).
Berkerakyatan dicirikanantara lain dengan mendaya gunakan sumber daya yang dimiliki atau dikuasai rakyat banyak, menjadikan organisasi ekonomi dn jaringan organisasi ekonomi rakyat banyak menjadi pelaku utama pembangunan agribisnis, sehingga nilai tambah yang tercipta dinikmati secara nyata oleh rakyat banyak.
Berkelanjutan dicirikan antara lain memiliki kemampuan merespons perubahan pasar yang cepat dan efisien, berorientasi kepentingan jangka panjang, inovasi teknologi yang terus menerus, menggunakan teknologi ramah lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Terdesentralisasi dicirikan antara lain berbasis pada pendaya gunaan keragaman sumberdaya lokal, berkembangnya keratifitas pelaku ekonomi lokal, memampukan pemerintah daerah sebagai pendorong utama pembangunan agribisnis dan peningkatan bagian nilai tambah yang dinikmati masyrakat lokal.

2.4. Kebijaksanaan Strategis Masa Mendatang
Kata kunci dalam globalisasi perdagangan dan investasi adalah penurunan biaya produksi. Penurunan biaya harus dilakukan secara kontinu melalui penelitian dan aplikasinya, serta melalui investasi infrastruktur pedesaan. Tanpa perbaikan invrastruktur pedesaan seperti irigasi dan jalan usaha tani maka keunggulan sumber daya tidak mempunyai dampak multiplier.
Unsur utama untuk menjamin ketahanan pangan adalah peningkatan pendapatan kaum miskin. Marginal propensity kaum miskin terhadapat pangan cukup tinggi. Oleh karena itu supaya sentral untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan adalah melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja. Dimasa mendatang pertumbuhan sektor pertanian akan menurunkan kemiskinan, dan diperlukan laju pertumbuhan pertanian melebihi pertumbuhan penduduk guna menyediakan lapangan kerja. Dengan laju pertumbuhan penduduk tahun ini sebesar I,34 persen/tahun, maka diperlukan pertumbuhan pertanian sekitar 2-3 persen/tahun.
Pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh sekotor pertanian mempunyai dampak kuat dalam mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian akan merangsng permintaan dan jasa non-pertanian sehingga pendapatan sektor non-pertanian pedesaan akan meningkat. Study yang dilakukan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) 2003 di Afrika menunjukkan bahwa setiap tambahan US$ 1 pendapatan petani berpotensi menambah pendapatan antara US$ 0.96- US$ 1,88. Maka sangat strategis agar pemerintah memprioritaskan pengentasan kemiskinan pedesaan melalui sektor pertanian. Upaya pengentasan kemisknan tidak akan mungkin tanpa peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Upaya yang dikemukakan diatas akan lebih cepat lagi mana kala disertai dengan pembangunan agro-industri berbasis pedesaan secara terencana untuk lebih mendayagunakan keunggulan komparatif kita. Agro-industri pedesaan akan lebih menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja pedesaan dan tidak memerlukan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Maka kebijaksanaan industri masa depan haruslah berbasis agro-industri. Agro-industri juga akan meningkatkan nilai tambah. Dengan demikian masalah kembar bangsa yaitu kemiskinan dan pengangguran secara simeltan terpecahkan. Sektor pedesaan kita akan mengalami modernisasi sehingga suatu saat apabila kebijaksanaan ini dilakukan secara terencana dan konsisten akan terjadi keseimbangan kota-desa.
Inilah salah satu esensi pendekatan sistem agribisnis. Sangat diperlukan sinergi sedikitnya 2 sektor yaitu sektor pertanian dan sektor industri menjadi sektor kembar yang dijembatani oleh agro-industri. Sinergi tersebut akan jauh lebih dasyat lagi jika didukung oleh kebijaksaan perdagangan melalui sistem perdagangan golbal yang tidak mengorbankan pertanian serta sistem perdagangan lokal yang memperlancar distribusi produk-produk pertanian dari sentra produksi kesentra konsumsi. Biaya pemasaran akan turun manakala titik berat investasi dilakukan untuk memperbaiki infrastruktur jalan dan irigasi pedesaan. Ini harus merupakan respons aktif Indonesia menghadapi arus globalisasi.
Guna mewujudkan hal-hal yang diuraikan di atas, diperlukan kebijaksanaan-kebijaksanaan konkrit berikut:
1. Komitmen politik pemerintah dan legeslatif yang kuat untuk membuka lahan pertanian baru di luar Jawa sepuluh tahun kedepan sebesar 5 juta Ha disertai prioritas pembangunan irigasi dan infra struktur pedesaan secara besar-besaran. Hal ini perlu untuk menggeser beban pulau Jawa yang semakin berat sebagai sentra produksi pangan nasional. Pinjaman luar negeri sangat diperlukan untuk maksud ini.
2. Deregulasi pestisida dan pupuk untuk mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru di bidang produksi dan perdagangan pestisida dan pupuk sehingganmakin banyak produk pestisida dan pupuk yang dapat dipilih petani dengan harga yang makin kompetitif. Untuk pupuk, pembangunan pabrik-pabrik pupuk baru masih sangat diperlukan guna menambah kapasitas produksi pupuk domestik. Deregulasi ini akan meningkatkan produktifitas pertanian.
3. Kebijaksanaan perbenihan/pembibitan untuk mendorang berkembangnya usaha perbenihan/pembibitan domestic oleh swasta dan kelompok tani di setiap daerah. Untuk tahun anggaran 2005, dana pemerintah untuk maksud ini sedang diusahakan oleh Deptan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-Reboisasi di berbagai Kabupaten.
4. Komitmen politik yang kuat untuk mengembangkan agro-industri pedesaan. Selama ini telah banyak dibangun sentra-sentra produksi di kawasan agribisnis unggulan. Sudah saatnya dibuat suatu grand strategi pembangunan agro-industri pedesaan secara nasional guna mendapatkan nilai tambah dan memberikan kesempatan kerja pedesaan yang pada gilirannya mengentaskan kemiskinan. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya adalah upaya mereduksi kerusakan dan kehilangan pasca panen. Dengan cara ini pasar pedesaan juga akan tercipta.
5. Kebijaksanaan percepatan disseminasi teknologi. Kebijaksanaan Deptan yang mengharuskan Badan Penelitian dan Pengembangan Deptan mulai tahun 2003 bekerjasama dengan pengguna langsung teknologi (para petani dan dunia usaha) untuk meningkatkan produktifitasnya melalui business innovation.
6. Deregulasi sektor keuangan untuk lebih mendorong tumbuhnya lembaga keuangan mikro di pedesaan (seperti P4K, simpan pinjam, credit union, dll). Dengan cara ini uang akan lebih banyak beredar di pedesaan untuk menggerakkan sektor real.
7. Kebijaksanaan peningkatan kemampuan SDM petani dan penyuluh melalui sekolah lapang dan berbagai pelatihan. Kelembagaan inkubator agribisnis perlu segera dikembangkan untuk percepatan implementasi visi membangun sistem dan usaha agribisnis ke depan.
8. kebijaksanaan untuk mendorong tumbuh-kembangnya organisasi ekonomi petani yang bergerak dalam usaha-usaha agribisnis hulu dan hilir. Organisasi ekonomi petani ini sangat kita harapkan menjadi perancang sistem agribisnis dan usaha pedesaan di masa mendatang.

III. KESIMPULAN
Sebagai Negara agraris, keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia adalah di bidang agribisnis. Apabila pembangunan dilaksanakan atas dasar keunggulan tersebut, perekonomian yang terbangun akan berdayasaing dan berdayaguna bagi pembangunan nasional dan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu dalam menghadapi tantangan pembangunan pertanian saat ini dan mendatang, pembangunan sistem dan usaha agribisnis sebagai strategi pembangunan pertanian merupakan pilihan yang tepat. Strategi ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, sekaligus pemerataan.
Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan secara simultan dan harmonis pembangunan sektor pertanian (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri yang mencakup lima subsistem, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani/ternak, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa penunjang.
Dengan paradigma pembangunan sistem dan usaha agribisnis, pembangunan pertanian harus didasarkan kepada prinsip-prinsip bisnis. Dengan demikian strategi pembangunan sistem dan usaha agribisnis harus dibangun dengan mempertimbangkan dinamika yang terjadi, terutama berkaitan dengan dinamika lingkungan strategis global dan domestik.
Pembangunan pertanian menghadapi tantangan berat yaitu globalisasi dalam konteks eksternal, serta otonomi daerah dalam konteks internal. Diperlukan respons seluruh stakeholders berupa efisiensi biaya produksi, dukungan investasi infrastruktur agribisnis pedesaan, peningkatan produktifitasnya dari hulu ke hilir, lembaga keuangan mikro, serta dukungan SDM agribisnis yang handal.
Pembangunan pertanian masa depan tidak boleh lagi dipandang secara tersekat-sekat, sekedar penyedia pangan dan bahan baku industri. Pertanian adalah bisnis besar yang dijalankan oleh berjuta-juta usaha agribisnis skala kecil dengan berbagai kendala dan keterbatasan daya saingnya. Agribisnis memerlukan integrasi lintas sektoral. Kebijaksanaan pertanian, kebijaksanaan industri dan perdagangan, kebijaksanaan infrastruktur, kebijaksanaan teknologi, kebijaksanaan permodalan dan investasi, kebijaksanaan SDM haruslah saling sinergi agar menjadi energi yang dasyat membangun daya saing bangsa masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Agrina. 2007. Swasembada Beras. Jakarta
Agrina. 2007. Pasar Menunggu Beras Hibrida. Jakarta
BPS, Bappenas, UNDP (2004), Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia, UNDP: Jakarta
Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Agribisnis Sebagai Penggerak Perekonomian Nasional.
Nainggolan, Kaman. 2005. Pertanian Indonesia Kini dan Esok. Jakarta:Gramedia

Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta. Jurnal ekonomi [Artikel - Th. II - No. 7 - Oktober 2003] oleh Bayu Krisnamurthi

“JANGAN REBUT PASAR SAWIT KAMI”

Oleh : Reflis

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada 4 Juni 2007 yang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan tambahan dukungan bagi sektor pertanian. Ia berniat menyisihkan dana sebesar Rp 7,8 triliun pada tahun 2007 untuk perluasan pertanian, yang merupakan peningkatan yang signifikan (masing-masing 24% dan 54%) dari tahun-tahun sebelumnya (2006: Rp 6,3 triliun dan 2005: Rp 4,1 triliun). Namun demikian, pelaksanaan kebijakan nasional merupakan suatu pekerjaan yang jauh lebih rumit dan penuh tantangan daripada memperbaiki sebuah propinsi kecil seperti Gorontalo. Akibatnya, paket kebijakan nasional tersebut mencakup hampir semua hal yang terpikir oleh kita: perbaikan irigasi, penyediaan benih, pupuk, pestisida, dan secara umum teknologinya (Adam, 2007).
Pengelolaan paket kebijakan ini masih birokratis dan bersifat top-down. Di Uni Eropa yang terkenal dengan sejarah panjang proteksi pertaniannya, diperkirakaan haya sekitar 20% dari setiap 1 € yang disediakan dalam bentuk subsidi berhasil mencapai penerima yang dituju, yakni para petani. 80% lainnya tertelan oleh birokrasi yang tidak efisien, oleh pemerintah dan para prantara. Meskipun terdapat kritik demikian, harus diakui bahwa kebanyakan negara anggota Uni Eropa dikelola dan dijalankan dengan cara yang lebih baik daripada Indonesia. Pertanyaannya sekarang adalah berapa besar dari subsidi yang disediakan di Indonesia berhasil mencapai petani pengahsil primer? Tebakan saya adalah sekitar separuh dari apa yang telah dicapai oleh orang Eropa. Artinya, dari setiap 1.000 rupiah yang disediakan untuk subsidi pertanian, hanya sekitar 100 rupiah yang berhasil mencapai petani Indonesia. 90% sisanya bisa dikatakan menguap dan menguntungkan orang lain, bukan para petani (Arifin, 2007).
Subsidi-subsidi yang ada saat ini, yakni yang diberikan kepada BUMN yang memproduksi pupuk, benih, bahan-bahan kimia, dsb. Bukanlah merupakan subsidi pertanian melainkan subsidi BUMN, yang pengelolaannya penuh dengan inefisiensi, seperti yang ditemukan oleh BPK setiap tahunnya. Pengalaman dari negara-negara tetangga mengindikasikan bahwa diperlukan lebih banyak persaingan untuk memaksa BUMN-BUMN menjadi lebih efisien. Akan tetapi selama BUMN dilihat sebagai suatu solusi dan bukan sebagai suatu problem terhadap sistem, tidak ada yang secara signifikan akan berubah bagi nasib petani (Oktaviani,2007).
Menghadapi krisis harga minyak goreng yang berkepanjangan, pemerintah mulai menyiapkan mekanisme insentif dan disinsentif. Ini merupakan sikap tegas pemerintah agar kuota pasokan minyak sawit mentah (CPO) di dalam negeri sebesar 100.000 hingga 150.000 ton per bulan dengan harga tertentu dapat segera dipenuhi, sehingga gejolak harga minyak goreng di pasar domestik bisa segera diatasi. Keputusan pemerintah menaikkan pajak ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen, Jumat (15/6), yang diumumkan Menko Perekonomian Boediono, ternyata ditanggapi dingin oleh pengusaha minyak goreng. Bahkan, kalangan pengamat ekonomi pesimistis bahwa langkah itu bisa segera menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri ke level Rp 6.000,00-an per kilogram. Namun, sayang instrumen yang digulirkan pemerintah belum jelas dan dikhawatirkan akan memunculkan masalah baru yang tak kalah pelik. Sebab, dengan kenaikan pajak ekspor justru akan menurunkan harga sawit segar dari petani. Akhirnya, petani pula yang akan menanggung beban berat dari kenaikan pajak ekspor. (Iskandar, 2007).
Pengaruh pada perekonomian makro tentu memberi goncangan karena kebijakan menaikkan Pajak ekspor dapat menurunkan minat investor menanamkan modalnya di sektor agrobisnis sawit. Padahal agroindustri sawit memiliki spin off untuk tumbuhnya industri pangan, kimia, kosmetika dan bioenergi yang dapat menampung tenaga kerja. Jika pemerintah terus berkutat diseputar kenaikan pajak ekspor untuk program stabilisasi harga (PSH) minyak goreng, maka komoditas yang satu ini pada akhirnya kian sarat dengan aroma politis. Jika seseorang tidak mengonsumsi makanan gorengan selama berbulan-bulan, ia padahal belum mengalami gizi buruk dan kurang energi. Artinya, minyak goreng bukanlah sumber energi utama seperti halnya beras yang menjadi makanan pokok kita. Harapan untuk bangkit dari krisis ekonomi tampaknya masih sulit diwujudkan karena pemerintah sibuk membahas PSH minyak goreng sehingga lupa merumuskan pengembangan industri berbasis minyak sawit yang berdaya saing tinggi (Saragih, 2006)
1.2 Rumusan Masalah.
1. Apakah sawit itu komoditas strategis sehingga harganya perlu diatur oleh pemerintah?
2. Apakah kebijakan larangan ekspor dengan naiknya pungutan ekspor yang amat signifikan ini akan mampu mengendorkan minat para pemain bisnis CPO untuk mengekspor hasil olahan tandan buah sawit ini?
3. Apakah pemerintah memandang anak kunci keberhasilan pengendalian harga minyak goreng di pasar domestik adalah dengan mengurangi ekspor CPO.


II. PASAR SAWIT INDONESIA

2.1. Apakah sawit itu komoditas strategis sehingga harganya perlu diatur oleh pemerintah?
Itu Bukan Komoditas Starategis, sawit adalah komoditas pertanian biasa saja, tidak seperti beras. Kenapa pengusaha begitu lemah menerima saja tugas dan tanggung jawab tersebut, ada apa sebenarnya yang terjadi? Kalau itu karena rasa tanggung jawab sosial kita pujilah meraka, tapi kalau karena alasan lain kasihanlah mereka. Pengalaman tahun 1997–1998 dengan adanya pajak ekspor tambahan yang diuntungkan bukanlah konsumen, bukan petani dan pengusaha, bukan juga dana pemerintah. Jangan-jangan hal yang sama terjadi lagi saat ini, dan tampaknya kita tidak belajar dari pengalaman pahit itu. Selama dua bulan terakhir ini harga minyak goreng tetap meninggi. Sejumlah kalangan memperkirakan kenaikan harga minyak goreng akan terjadi. Kebijakan yang menempatkan minyak goreng menjadi komoditas strategis–padahal kontribusi minyak goreng terhadap belanja rumah tangga hanya 1,9 persen–telah melupakan keluarga petani sawit karena pemerintah tega memangkas kesempatan mereka mendapatkan penghasilan lebih baik yang sudah lama ditunggu.
Pasalnya, pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO) di pasar internasional erat kaitannya dengan dengan harga domestik. Tren penggunaan minyak sawit mentah sebagai bahan baku bahan bakar nabati (biodiesel) telah mendorong secara signifikan permintaan CPO di pasar dunia. Drama pertarungan industri pangan dan industri biodisel memperebutkan bahan baku CPO telah menetaskan harga minyak goreng yang makin tak terjangkau rakyat kebanyakan.CPO makin digandrungi dunia industri. Selain diolah untuk menghasilkan berbagai produk turunan di bidang pangan, negara-negara maju mulai melirik CPO untuk diolah menjadi biodisel sebagai pengganti minyak bumi, yang akhirnya mendongkrak harga CPO di pasari nternasional. Minyak sawit mentah Indonesia pun mengalir deras membanjiri pasar ekspor dan jumlahnya mencapai 11,5 juta ton dari total produksi 16 juta ton tahun 2006. Pihak prosesor minyak goreng domestik kesulitan memperoleh CPO dan murahnya harga minyak goreng naik secara signifikan sehingga perlu digelar OP. Di sejumlah daerah warga dengan jerigen mengantre dengan baik untuk mendapatkan minyak goreng murah, Rp.6.500. Namun OP tidak membuahkan hasil.
Kebijakan Pemerintah:
Pemerintah pun merumuskan kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk mewajibkan produsen CPO dan produsen minyak goreng mengutamakan pasokan ke pasar domestik. Sayangnya, kebijakan inipun gagal. Upaya lain pun digulirkan dengan mempercepat kenaikan pungutan ekspor CPO dan turunannya menjadi 6,5 – 10 persen sejak15 Juni. Patut disadari ada faktor eksternal diluar kendali pemerintah, yakni harga CPO di pasar internasional. Pemerintah pun harus selalu mengeluarkan peraturan baru untuk mengatur persentase pungutan ekspor jika harga CPO di pasar internasional naik guna mencegah ekpor secara besar-besaran.


2.2. Apakah kebijakan larangan ekspor dengan naiknya pungutan ekspor yang amat signifikan ini akan mampu menstabilkan haega minyak goreng domestik?

Kebijakan Larangan Ekspor CPO bukanlah pilihan terbaik untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri. Sebaliknya bisa merusak kepercayaan pihak luar negeri terhadap komitmen dagang pemerintah Indonesia dan mendorong penyeludupan CPO besar-besaran karena disparitas harga yang tinggi. maka ada sejumlah faktor penting yang belum bisa dikendalikan pemerintah yang berpengaruh pada harga minyak goreng di pasar, yakni mata rantai CPO dan minyak goreng masih diluar kendali pemerintah, tidak adanya data yang akurat ke mana CPO dijual sehingga muncul dugaan tetap berlangsung penyeludupan CPO dan tidak adanya kebijakan CPO dan minyak goreng yang padu antar departemen teknis terkait. Kebijakan pemerintah yang mempercepat kenaikan Pajak ekspor telah mengecewakan petani kelapa sawit.
Di sisi lain kebijakan yang tidak populer ini dikhawatirkan akan memukul balik perekonomian nasional, sebab pendapatan petani disumbat sementara kebutuhan hidup dan harga sarana produksi pertanian naik secara signifikan yang pada gilirannya petani akan mengurangi biaya operasional untuk memelihara tanaman. Dampak jangka panjang adalah menurunnya produktivitas tanaman dan muaranya tingkat pendapatan mereka pun akan anjlok dan konsekuensi logisnya jumlah kemiskinan di Tanah Air kembali memuai.Industri Hilir CPO.
.
Pengembangan agroindustri yang satu ini jika dilaksanakan secara terpadu maka di masa datang dapat menggeser peran Indonesia dari pengekspor CPO menjadi penghasil dan pengekspor produk olahan berbasis CPO yang andal.Industri hilir minyak sawit harus menjadi prime mover untuk membangkitkan kembali perekonomian Indonesia. Kehadiran industri turunan CPO dapat memberi nilai tambah berlipat ganda karena produknya sudah lebih beragam mulai dari bahan pangan hingga oleochemicals. Saat ini, industri hilir CPO di Indonesia masih didominasi oleh industri produk pangan jadi. Melalui proses fraksinasi, rafinasi, hidrogenasi, deodorisasi dan interesterifikasi dan pemurnian, CPO bisa disulap menjadi minyak goreng, margarin, cocoa butter subsitute (CBS), es krim dan lain-lain. Dengan pengembangan industri oleochemicals, CPO dapat diolah lebih lanjut menjadi produk farmasi, kosmetika, plastik, minyak pelumas, biodiesel, gliserin, fatty alkohol hingga produk healty oil. Beragamnya produk olahan CPO yang membuka lapangan kerja baru bagi warga, pemerintah patut mendorong pembangunan industri hilir CPO.

Tetapi yang mengherankan, entah bagaimana atau tekanan dari pemerintah dunia usaha setuju untuk melakukan stabilisasi harga itu, mengambil alih peran dari pemerintah. Memang selalu ada siklus mengenai harga CPO. Sampai batas-batas tertentu harganya rendah kemudian timbul harganya sangat tinggi seperti sekarang ini, menjadi lebih dari US$ 750/ton. Akhirnya nanti akan turun juga. Harga CPO naik maka biaya produksi dari minyak goreng naik, karena harga produksi naik maka dia harus menaikkan harga minyak gorengnya. Itu bisnis biasa kan? Yang heran saya mengapa bisnis biasa diatur dengan cara luar biasa? Kemudian bila itu realitasnya lantas bagaimana akibat dari pengaturan itu? Sebelum melihat akibatnya, kita analisis dulu apakah benar-benar kenaikan harga itu akan merugikan perekonomian kita.
Penurunan harga minyak goreng itu tidak banyak membantu konsumen dan efeknya terhadap inflasi juga kecil sekali. Sebab minyak goreng dalam komposisi konsumsi masyarakat itu kecil sekali, tidak seperti beras. Jadi tidak perlu ditakutkan bahwa kenaikkan harga minyak goreng akan mengakibatkan inflasi naik. Barangkali ini yang ditakutkan pemerintah, tapi ketakutan ini tidak ada dasarnya. Harga CPO dan minyak goreng naik, maka harga minyak kelapa akan naik. Bila harga minyak kelapa naik itu akan menguntungkan petani kelapa, sehingga mereka bisa meremajakan tanaman kelapanya. Jadi bila harga minyak sawit tidak diturunkan, ada potensi untuk mengembangkan kelapa di dalam negeri. Kelapa adalah sumber minyak yang sangat baik tetapi harganya lebih mahal dari minyak sawit. Tetapi dengan harga CPO begini tinggi, maka harga minyak kelapa akan menjadi menguntungkan bagi pabrikan dan petani kelapa. Jika harga minyak sawit diturunkan, itu akan merugikan petani kelapa kita. Dan petani kelapa sawit serta pengusaha minyak goreng juga dirugikan. Jadi kebijakan kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng yang artinya menurunkan harga yg sebenarnya merugikan produsen dan menguntungkan tidak seberapa konsumen. Tetapi dengan pengaturan seperti ini, yang terjadi nanti adalah kekacaubalauan. Hal itu sudah kita alami pada 1997–1998, sewaktu pajak ekspor tambahan itu diterapkan. Dan bila kondisi ini berlangsung cukup lama, harga minyak goreng di dalam negeri lebih rendah daripa harga internasional, maka akan ada penyelundupan. Jika ada penyelundupan, konsumen dan produsen dalam negeri tidak untung, tetapi yang untung adalahpenyelundup. Sekalipun stabilisasi harga minyak goreng diterapkan seharusnya bukan menjadi tugas dan tanggung jawab petani kelapa sawit dan pabrikan minyak goreng. Ingat sepertiga dari areal sawit kita itu ada di tangan petani kecil. Kalau stabilisasi harga itu dirasakan oleh pemerintah sebagai suatu hal yang penting maka pemerintah yang melakukannya dan dia melakukan itu melalui kebijakan fiskal dan pembelanjaanpemerintah. Pemerintah membeli minyak goreng dari pabrikan dengan harga tinggi dan menyalurkannya kepada konsumen yang membutuhkan dengan harga murah. Selisih harga itu dibiayai dari APBN sehingga mudah untuk mengevaluasinya. Bila ada yang mengatakan itu seperti durian runtuh buat petani dan para pengusaha dengan harga CPO begitu tinggi. Memang durian runtuh pada saat sekarang dan di akhir tahun dihitung keuntungannya meningkat, dan tentunya pajaknya juga akan meningkat. Jadi pendapatan pemerintah dari sawit akan meningkat. Jadi karena pendapatan pemerintah dari sawit meningkat, dia cukup punya dana untuk melakukan stabilisasi. Tapi menugaskan ini kepada para pabrikan, pengusaha, dan petani itu berarti pendapatan mereka bisa berkurang dan pembayaran pajaknya juga berkurang, yang lebih parah lagi di situ akan terjadi kekacaubalauan. Ini sudah mulai kelihatan, seperti Dirjen Pajak sudah bikin wanti-wanti agar jangan bermain dengan pajak. Ini terlihat seolah-olah pemerintah mau enaknya saja. Sebab pemerintah yang mengatur pajak dan perdagangan kurang koordinasi.

2.3. Apakah pemerintah memandang anak kunci keberhasilan pengendalian harga minyak goreng di pasar domestik adalah dengan mengurangi ekspor CPO.
Cara merumuskan kebijakan yang dilakukan pemerintah mengenai stabilisasi harga adalah merumuskan kebijakan secara dadakan atau reaktif. Tidak ada persiapan dan desain jangka panjangnya. Dalam keadaan yang seperti itu bisa menimbulkan kekacaubalauan dan ini bisa mengurangi respek investor kepada kemampuan pemerintah merumuskan kebijakan yang bersahabat kepada investor. Pemerintah harus mendidik masyarakat untuk mengharagai adanya kelangkaan dan para produsen dan konsumen menyesuaikan dengan keadaan itu, tanpa ada campur tangan pemerintah yang reaktif dengan stabilisasi harga. Dengan demikian, akan ada alokasi sumberdaya yang lebih efisien dan efektif pada masa-masa yang akan datang. Dan dengan demikian pertumbuhan pertanian kita akan menjadi lebih besar. Dan jika pertumbuhan pertanian kita lebih besar akan menyumbang pada pertumbuhan perekonomian nasional. akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Tapi dengan adanya kebijakan yang reaktif ini akan menghilangkan sumua potensi pertumbuhan dan pemerataan yang datang dari pengembangan sawit ini. Jika pemerintah menerapkan pajak ekspor tambahan itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Dan kita harus tahu bahwa investasi untuk sawit bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Jika pemerintah bisa buat begitu untuk sawit tentunya juga bisa membuat hal yang sama untuk yang lain. Hal ini akan menghambat investasi. Investasi yang paling cepat dan menarik saat ini adalah investasi yang berbasis agribinis. Bila kebijakan agribisnisnya seperti ini maka tidak akan berkembang agribisnis kita. Kebijakan ini gambaran kesewenang-wenangan pemerintah terhadap petani kelapa sawit dan pengusaha CPO dan minyak goreng.

KESIMPULAN
1. Seharusnya tanggung jawab stabilisasi harga itu peranan pemerintah. Mungkin mereka mau punya citra yang baik, tetapi di situ sudah ada kekacauan mengenai tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dengan dunia usaha. Sebenarnya kenapa harga minyak goreng naik? Naiknya harga minyak goreng sebagai akibat naiknya harga CPO. Dan harga CPO naik tidak hanya di dalam negeri tetapi pasar internasional.
2. Melihat kondisi tersebut, pemerintah perlu terus mengawasi gejolak harga minyak goreng dan volume pasokan CPO di lapangan pasca kenaikan Pajak Ekspor. Sebab, dari implikasi kebijakan pemerintah menaikkan pajak ekspor CPO tersebut, jangan sampai berdampak negatif terhadap petani sawit. Bukan tidak mungkin, pengusaha CPO membebankan kenaikan Pajak Ekspor kepada petani sawit. Sebenarnya ini menjadi kekhawatiran banyak pihak khususnya petani sawit.
3. Investor perlu dirangsang menamkan modalnya di sektor hulu dan hilir lewat penghapusan Pajak ekspor CPO dan produk turunannya serta mereduksi beragam biaya siluman lainnya.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. 2007. Tantangan filosofis-teknis subsidi minyak goreng. Laporan 014.asp-34k. www.bappebti.go.id.

DPR terkini. 2007. Pemerintah Dituntut Turunkan Harga Migor Dalam Negeri. September. www.wordpress.com

Iskandar, Dadang. 2007. Gejolak Minyak Goreng. Harian Pikiran Rakyat Bandung. Edisi Juni 21.www.pikiran rakyat.com

Oktaviani, R. 2007. Kenaikan Pajak Ekspor Cpo Jangan Rugikan Petani Sawit. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Edisi Juli. www. Woed press.com

Rainer, Adam. 2007. Kebijakan Pertanian – resep Achilles bagi pemerintahan SBY?. Artikel edisi Oktober (27). www.Forum Politisi. orgForum

Sibuea, Posman. 2007. Minyak Goreng Menjadi Komoditas Politik. Edisi Agustus.www. sinar harapan.co.id

Saragih, Bungaran. 2007. Reaksi terhadap Harga Sawit Edisi Juni No. 56. www. Word press.com